Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
pendidikan berkualitas bukan hanya sebatas transfer pengetahuan, di dalamnya mesti ada proses menumbuhkan kreativitas, gelora berbudaya, dan kebahagiaan belajar. Itulah sebabnya wajah pendidikan bangsa ini mesti ramah, merdeka, dan melibatkan nilai-nilai budaya nusantara. Seperti yang dicontohkan Taman Siswa, mahakarya Ki Hajar Dewantara.
Bukan tanpa alasan Ki Hajar Dewantara menggunakan kata “taman” sebagai identitas konsep pendidikannya. Taman memiliki filosofi sebuah tempat yang nyaman dan menyenangkan. Tujuannya untuk menciptakan ekosistem belajar-mengajar yang membahagiakan dan merdeka untuk berkreasi tanpa dibatasi ruang-ruang kelas.
Ketika sekolah berhasil menjadi wahana yang menyenangkan dalam proses belajar-mengajar, maka kreativitas, ide, dan inovasi mudah muncul bertubi-tubi. Alhasil, dimasa depan akan muncul anak-anak bangsa yang kaya karya dan gemar mencipta.
Dalam Asas-Asas Taman Siswa 1922, Ki Hajar Dewantara begitu menekankan peran penting sebuah institusi pendidikan untuk membangun kemerdekaan berpikir bagi anak-anak didik. Mereka perlu diberi ruang yang cukup untuk mengembangkan buah kesadaran dan sikap batinnya. Namun ini bukan berarti kebebasan yang leluasa, tetapi kebabasan yang harus mengikuti tertib damainya hidup bersama dalam tatanan sosial.
Ki Hajar Dewantara juga menyoroti model belajar seperti perintah, hukuman, dan paksaan untuk diubah dengan metode yang lebih ramah anak. Dalam balutan sistem among, Taman Siswa berdiri dengan tuntunan-tuntunan tanpa melibatkan paksaan-paksaan. Dimana para guru berperan sebagai pamong atau pemimpin yang berdiri di belakang. Mengemban tugas sebagaimana semboyan Tut Wuri Handayani, tetap mempengaruhi namun memberi kesempatan kepada anak untuk mengeksplorasi buah pikirannya.
Dewasa ini, sari pati Taman Siswa yang arif itu coba diekstraksi dalam program Medeka Belajar oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim. Langkahnya dimulai dengan mengusung empat isu penting, yakni penggantian format UN (Ujian Nasional), pengembalian kewenangan USBN (Ujian Sekolah Berstandar Nasional) ke sekolah, RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang hanya satu lembar, dan naiknya kuota jalur prestasi pada PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) dari sebelumnya 15% menjadi 30%.
Langkah awal Merdeka Belajar ini menjadi terobosan yang efektif dan efisien. Sebab dengan sistem pendidikan yang mengedepankan capaian nilai dan serba administratif, justru semakin membuat kualitas pendidikan bangsa ini terperosok di posisi bawah.
Berdasarkan hasil studi yang dilakukan PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2018, dalam kategori kemampuan membaca, sains, dan matematika, skor Indonesia tergolong sangat rendah, bahkan menempatkannya di urutan ke-74 dari 79 negara.
Sementara itu, dari sudut pandang kreativitas, Indonesia juga tergolong sebagai negara dengan tingkat kreativitas yang rendah. Berdasarkan GCI (Global Creativity Index) 2015, tingkat kreativitas Indonesia berada di posisi 115 dari 139 negara.
Data ini seolah menunjukkan bahwa menempatkan capaian nilai akademik sebagai puncak penilaian kualitas pendidikan tidak sepenuhnya benar. Ada faktor lain yang juga penting disejajarkan, seperti kreativitas dan inovasi. Untuk itulah program Merdeka Belajar perlu dibangun sebagai modal dasar menciptakan generasi yang tidak hanya cakap dalam sisi akademik, tetapi juga kaya karya dan bermental mencipta.
Gelora Budaya
Dalam Dasar-Dasar Taman Siswa 1947, kebudayaan menjadi aspek dasar dalam membangun pendidikan. Kebudayaan diartikan sebagai buah budi dan hasil perjuangan manusia terhadap kekuasaan alam dan zaman yang diwariskan turun-temurun. Sehingga kebudayaan itu menjadi identitas karakter dari masyarakat yang melestarikannya.
Karakter asli bangsa ini identik dengan mendahulukan adab, baru kemudian ilmu. Jika pendidikan tidak dibangun dari adab yang baik, maka ruang belajar bisa menjadi tempat tumbuh yang subur bagi perilaku destruktif.
Ini terbukti dari hasil studi PISA tahun 2018, yang menunjukkan bahwa 41,1% murid mengaku pernah mengalami tindak perundungan (bullying) di Indonesia. Ini sekaligus menempatkan Indonesia berada di posisi ke-5 tertinggi dari 78 negara yang paling banyak terjadi tindak perundungan.
Inti penyebab banyaknya perundungan adalah banyaknya anak-anak didik yang jauh dari nilai-nilai adab. Arus kemajuan teknologi dan informasi yang diisi dengan tontonan tanpa tuntunan menjadi penyebab berkaratnya adab dalam jiwa anak-anak didik.
Untuk itulah gelora budaya dalam sistem pendidikan perlu dijadikan instrumen dasar untuk membentuk karakter anak didik yang ramah tutur dan ramah perilaku. Ini artinya, gelora budaya seperti yang tertuang dalam Dasar-Dasar Taman Siswa perlu dilibatkan sebagai pandu dalam mengembalikan perilaku anak didik yang sesuai dengan karakter asli bangsa.
Singkatnya, membangun kemerdekaan belajar tanpa melibatkan nilai-nilai budaya nusantara akan melahirkan generasi yang hanya mahir cipta karya, tanpa mahir cipta rasa berempati dan beradab. Padahal jika mahir cipta karya dan cipta rasa tumbuh dalam tatanan sosial, maka sifat-sifat kolaboratif dalam berkarya mudah dirajut di tengah masyarakat yang majemuk.
Indonesia Bahagia
Prinsip kemerdekaan dalam program Merdeka Belajar seyogianya bukan hanya milik peserta didik saja. Guru sebagai pandu jalan masa depan juga berhak merdeka atas hak-haknya.
Dalam dimensi Taman Siswa, guru adalah pamong atau pemimpin yang memberi dorongan dan arahan dari belakang. Pahit getir perjuangan seorang guru dalam mencerdaskan anak bangsa, wajib dibayar dengan penghargaan yang setimpal. Minimal memerdekakan guru dari kondisi prasejahtera dan gagap teknologi.
Ketika guru dan murid sama-sama merdeka dengan balutan budaya yang kuat, maka saat itu jalan menuju Indonesia bahagia sedang dibuka seluas-luasnya. Namun syaratnya satu, program ini mesti berkelanjutan.
Gonta-ganti sistem pendidikan yang selama ini terjadi, seolah menggambarkan bahwa bangsa ini belum menemukan resep yang pas dalam menyajikan pendidikan berkualitas. Estafet sistem pendidikan kerap putus di tengah jalan seiring dengan pergantian kepemimpian, semisal menteri.
Ibarat membangun sebuah rumah. Belum selesai rumah dibangun, sudah harus dirubuhkan dan diganti dengan desain yang baru. Jika pendidikan diperlakukan demikian secara terus-menerus, maka cita-cita mencapai pendidikan berkualitas hanya sebatas rancang-bangun tanpa pernah menghasilkan sistem pendidikan yang final.
Untuk itulah sektor pendidikan mesti bebas dari kungkungan jabatan politis. Artinya, estafet program Merdeka Belajar mesti terus berlanjut jika ingin membangun konstruksi pendidikan yang kuat dan berkualitas.
Finlandia adalah bukti empiris bahwa membangun pendidikan berkualitas itu tidak instan. Sebagai trademark sistem pendidikan terbaik, kualitas pendidikan Finlandia juga pernah berada pada titik seperti Indonesia saat ini.
Tahun 1950-an, Finlandia masih tergolong negara miskin dengan kualitas pendidikan yang rendah. Bahkan sampai tahun 1980 capaiannya masih di bawah rata-rata negara OECD (Organisation for Economic Co?operation and Development).
Tapi lihatlah sekarang. Melalui reformasi pendidikan yang mengedepankan kemerdekaan dan kebahagian dalam belajar, Finlandia tumbuh dengan label pendidikan terbaik.
Konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara yang selama ini tumbuh subur di Finlandia, mestinya juga tumbuh subur di negeri sendiri. Dengan modal dasar Taman Siswa sebagai role model, didukung dengan perbaikan kualitas guru dan fasilitas pendidikan secara terus-menerus, maka bukan tidak mungkin nasib pendidikan bangsa ini bisa semujur Finlandia.
Memang tidak instan dan butuh waktu yang panjang. Tetapi itu jauh lebih baik daripada melakukan rancang-bangun pendidikan puluhan tahun yang tak kunjung berhasil menyajikan pendidikan berkualitas.
====
Penulis Kepala Divisi Pendidikan dan Pengkaderan Perkumpulan Garuda Sylva.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]