Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Sektor pertanian senantiasa menarik untuk didiskusikan bahkan diperdebatkan. Ruang diskusi dan perdebatan itu semakin lebar ketika pembicaraan tidak lagi pada besarnya produksi pertanian saja, tetapi lebih kepada kesejahteraan petani yang saat ini masih saja berada pada posisi yang belum sepenuhnya menguntungkan.
Pertanian merupakan sektor penting dalam perjalanan bangsa Indonesia. Selain jumlah produksinya, manusia yang terlibat dalam sektor ini juga cukup besar. Rilis Badan Pusat Statistik (5/5/2021) menyebutkan bahwa hingga Februari 2021, secara nasional jumlah pekerja di sektor ini mencapai 29,59 persen atau 38,78 juta orang. Sementara itu, Sumatra Utara sebagai salah satu sentra pertanian di Indonesia juga memiliki jumlah pekerja pertanian yang cukup besar. BPS mencatat ada sebanyak 2,49 juta orang bekerja di pertanian atau 35,43 persen. Melihat kenyataan itu, bisa dipastikan bahwa setiap kebijakan di sektor pertanian akan memengaruhi hajat hidup yang cukup banyak.
Pada triwulan I 2021, ekonomi Sumatra Utara mengalami konstraksi atau perlambatan sebesar 1,85 persen. Tekanan ekonomi ini tentunya tidak terlepas dari pandemi Covid-19 yang belum berakhir. Hampir seluruh sektor tumbuh negatif. Transportasi merupakan sektor yang terdampak cukup dalam dengan konstraksi hampir 1 persen (-0,88), sektor lain yang juga terhempas adalah konstruksi dan perdagangan besar yang mengalami konstraksi masing-masing 0,38 persen. Angka di atas mengindikasikan nyatanya dampak pembatasan mobilitas masyarakat terhadap pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara.
Di tengah kinerja ekonomi yang melambat, ternyata beberapa sektor masih mampu tumbuh positif, seperti sektor industri pengolahan dengan capaian 0,18 persen, sektor informasi dan komunikasi 0,14 persen, dan sektor pertanian sebesar 0,05 persen. Khusus sektor pertanian, dari total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sumatra Utara yang mencapai 133 triliun rupiah, sektor ini berkontribusi paling besar dengan nilai lebih dari 34 triliun rupiah atau 21,86 persen. Jika sektor pertanian mengalami konstraksi, maka bisa dipastikan perekonomian Sumatra Utara akan jatuh semakin dalam.
Sektor pertanian ini memang telah munjukkan ketangguhannya sejak lama. Saat krisis ekonomi di tahun 1998, ekonomi Indonesia rontok ke angka -13 persen lebih. Ketika itu hampir seluruh sektor ambruk, termasuk pertanian. Namun, setahun kemudian pertanian mampu tumbuh positif bahkan melebihi angka 2 persen. Bahkan saat itu pendapatan petani tergerek karena lonjakan harga pangan yang diakibatkan tingginya nilai dollar.
Pantaslah saat pelaksanaan Rakernas Pertanian di awal tahun 2021, Kementerian Pertanian memasang tagline, “Memperkuat Sektor Pertanian dalam Menopang Pertumbuhan Ekonomi di Tengah Pandemi Covid-19”. Tentunya secara sadar banyak pihak yang menaruh harapan besar pada sektor pertanian karena daya tahannya yang sudah teruji.
Kondisi Petani di Sumatra Utara
Tangguhnya sektor pertanian pada segala masa, ternyata masih belum sejalan dengan imbalan pendapatan yang diterima petani Sejatinya kesejahteraan petani hendaknya semakin baik, sehingga muncul semangat untuk tetap bertahan dan meningkatkan produktivitas mereka. Hal ini juga sekaligus sebagai bentuk “terima kasih” bagi sektor ini karena mampu menjadi sektor penyelamat perekonomian.
Saat ini mayoritas pekerja di pertanian merupakan penduduk dengan tingkat pendidikan rendah. Penyebabnya utaamanya karena bekerja di sektor pertanian tidak membutuhkan kualifikasi tertentu. Itulah yang menjadi salah satu penyebab banyaknya penduduk miskin di sektor pertanian yang angkanya mencapai 46,30 persen di seluruh Indonesia. Hal ini juga terkonfirmasi dari angka kemiskinan di perdesaan yang merupakan kantong sektor pertanian.
Data yang dikeluarkan BPS Sumatera Utara menunjukkan bahwa kemiskinan di perdesaan pada kondisi September 2020 berada di angka 600,48 ribu jiwa atau 9,02 persen. Meskipun angka ini lebih kecil jika dibandingkan di perkotaan (terpaut 0,13 persen), tetapi angka ini mampu memberi arti cukup dalam. Jika kemiskinan di perkotaan berasal dari sektor yang beragam, maka di perdesaan bisa dipastikan yang mengalami kemiskinan adalah petani, karena memang mayoritas penduduk di perdesaan bekerja sebagai petani.
Pendekatan untuk melihat tingkat kesejahteraan petani, salah satunya melalui besaran Nilai Tukar Petani (NTP). Nilai ini merupakan perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani. Semakin tinggi nilai NTP maka secara relatif menunjukkan semakin kuat pula tingkat kemampuan/daya beli petani.
Rilis BPS menyebutkan bahwa pada bulan April 2021 terjadi kenaikan NTP sebesar 0,41 persen ke angka 117,53. Dengan nilai NTP di atas 100 berarti secara umum petani di Sumatra Utara mengalami surplus. Namun, jika kita lihat secara rinci, terdapat subsektor yang NTP nya masih di bawah 100, yakni tanaman pangan (padi dan palawija) di angka 95,60, hortikultura sebesar 99,37, dan perikanan budidaya sebesar 96,61. Artinya pekerja pada sektor-sektor tersebut mengalami defisit atau dengan kata lain pendapatannya lebih kecil dari pengeluarannya.
“Tekor” nya petani tanaman pangan di Sumatra Utara mestinya mendapat perhatian pemerintah baik daerah maupun pusat, mengingat Sumatera Utara merupakan salah satu produsen padi terkemuka di Indonesia. Sepanjang tahun 2020, produksi beras Sumatera Utara mencapai 2,4 juta ton lebih. Sementara itu kebutuhan berasnya sebesar 1,9 juta ton. Dengan kata lain Sumatra Utara mampu surplus sekitar 500.000 ton.
Besarnya produksi beras Sumatra Utara menempatkannya di peringkat 7 sebagai produsen beras terbesar. Bayangkan jika kesejahteraan mereka tidak juga membaik dalam waktu yang cukup lama, bisa dipastikan petani di sektor ini akan terus menurun yang pada gilirannya mengancam pemenuhan pangan.
Menyejahterakan Petani
Tanggung jawab untuk mensejahterakan petani tentunya menjadi domain pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Mulai dari peningkatan keterampilan petani, pengenalan terhadap teknologi pertanian dan keberlanjutan penyaluran pupuk bersubsidi, benih unggul dan pembasmi hama, serta akses terhadap permodalan. Pemberian subsidi dan permodalan ini tentunya bisa membantu petani untuk menghemat pengeluaran produksi serta meningkatkan kualitas dan kuantitas tanaman. Teknologi pertanian juga sangat dibutuhkan untuk meningkatkan efisiensi petani dalam mengelola lahan.
Lalu yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana harga gabah di tingkat petani mampu membuat mereka sumringah. Menarik, apa yang telah dilakukan oleh pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk memenuhi kebutuhan berasnya melalui kerja sama dengan petani di wilayah Ngawi, Jawa Timur sebagai produsen padi dengan konsep resi gudang. Kerja sama tersebut pastinya memberikan manfaat di kedua belah pihak, yakni terjaminnya pemenuhan pangan di DKI Jakarta dan meningkatkan kesejahteraan petani di Ngawi karena kepastian pemasaran hasil panen mereka.
Kerja sama antar daerah memang dibutuhkan untuk prinsip saling menguntungkan. Sebagaimana rencana impor beras yang akan dilakukan pemerintah pusat, mestinya tidak terjadi jika Kerjasama yang baik terjalin antara daerah konsumen dan produsen. Selain menguntungkan kedua belah pihak, tentunya hal ini akan semakin menguatkan semangat kebangsaan kita.
Dibutuhkan effort yang sangat serius sehingga terjadi lompatan besar di sektor pertanian, khususnya di Sumatera Utara, agar suburnya lahan dan surplusnya produksi padi di propinsi ini mampu membawa maslahat bagi mereka yang bekerja sebagai petani. Jika kesejahteraan petani tidak juga meningkat, maka kita akan kesulitan membedakan mereka dengan pekerja romusha pada masa penjajahan.
====
Penulis Statistisi pada BPS Provinsi Sumatra Utara.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel/surat pembaca) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter (surat pembaca maksimal 2.000 karakter). Gunakan kalimat-kalimat yang singkat (3-5 kalimat setiap paragraf). Judul artikel/surat pembaca dibuat menjadi subjek email. Tulisan TIDAK DIKIRIM DALAM BENTUK LAMPIRAN EMAIL, namun langsung dimuat di BADAN EMAIL. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel/surat pembaca sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan/surat pembaca Anda ke: [email protected]