Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Saya memilih tertawa setengah mati lantaran ulah mayoritas anggota DPRD Humbang Hasundutan yang menyegel Kantor Sekwan DPRD Humbang Hasundutan tak lama ini (Waspada.id, 31 Mei 2021). Tertawa itu sehat. Berbagai penelitian sudah membuktikannya. Namun, tertawa saya kali ini adalah karena rasanya saya tidak bisa lebih sedih lagi. Kesedihan seolah sudah berada pada puncaknya, sehingga tak ada cara lain untuk merayakan kesedihan ini, kecuali dengan tertawa. Mungkin, kalian sudah memahami maksud saya. Sebab, adakalanya kita tak bisa lagi menangis lantaran kesedihan sudah terlalu kental.
Sebagai warga Humbang Hasundutan, jujur saja, saya tidak tahu apa kinerja wakil DPRD di sana. Ini memang masalah saya kok bisa-bisanya saya sampai tak tahu apa saja kinerja mereka. Tetapi, jika mau jujur, ini bukan masalah saya saja. Banyak warga Humbang merasakannya. Hal ini terekam jelas dari berbagai ragam komentar di media sosial warga Humbang Hasundutan. Saya hampir tak melihat DPRD di sana sebagai penguji segala kebijakan publik dari eksekutif. Nyaris, berita tentang DPRD Humbang Hasundutan selalu tentang keributan dan keributan.
Dua bulan lalu, mayoritas anggota DPRD Humbang Hasundutan melayangkan mosi tak percaya kepada Ketua DPRD. Berita ini menjadi lucu-lucuan di masyarakat. Mosi dipelesetkan menjadi “mossi tak percaya” yang kurang lebih artinya “tikus tak percaya”. Ketua DPRD dengan cerdik lalu membalas. Karena mayoritas anggota DPRD tak memercayainya sebagai ketua, Sang Ketua DPRD lantas membalasnya dengan membatalkan SK reses bagi anggota DPRD yang tidak mengakuinya sebagai ketua. Saya tidak tahu bagaimana mendefinisikan ini: apakah persoalan rakyat atau persoalan mereka saja?
Mencoba Menghibur Diri
Dua bulan kemudian, sebagaimana dikutip di awal, terjadi lagi perseteruan: kantor Sekwan DPRD Humbahas disegel. Entah dari mana imajinasi penyegelan ini terjadi. Saya tak sedang membela satu kubu dari keduanya. Bagi saya, kedua kubu tersebut tampak tak bisa menyelesaikan masalah internal mereka sehingga harus dipertontonkan berulang kali.
Ada yang mengatakan bahwa satu kubu sedang memperjuangkan hak rakyat. Namun, bagi saya, jika perkelahian semacam ini vulgar ditunjukkan berulang kali lagi, penilaian saya hanya satu: bahkan untuk mengurusi masalah internal saja mereka tak bisa, konon lagi soal rakyat?
BACA JUGA: Ancaman Mutasi dan Ketidakmerdekaan Guru
Tetapi, saya mencoba menghibur diri. Bagaimana pun, salah satu dari mereka adalah pilihan saya. Karena itu, diam-diam, saya menertawakan diri saya sendiri: kok bisa-bisanya saya memilih calon yang demikian? Saya berkata begitu karena cara terbaik mengejek kebodohan sendiri adalah dengan menertawakan diri sendiri.
Saya cukup puas dengan tertawa itu hingga suatu ketika saat sedang meledek diri sendiri, salah seorang berkomentar di media sosial: ise do gurum na jolo i? (siapa gurumu dulu?). Saya semakin bahagia, maksudnya: tak bisa lebih sedih lagi. Jatuh-jatuhnya, ternyata kekonyolan dari anggota DPRD ini adalah kembali pada kesalahan gurunya.
Sebagai guru, saya lantas meramal masa depan: bahwa jangan-jangan, jika ada anggota DPRD yang konyol dan terpilih, maka itu adalah kesalahan kami sebagai guru? Dalam hati saya protes: mengapa para pemilihnya tak disalahkan juga? Mengapa partainya tak dikritisi sebab meloloskan seseorang sebagai calon meski tidak kompeten? Mengapa bukan anggota DPRD-nya yang disalahkan supaya ke depan, anggota DPRD yang konyol (baik di satu kubu maupun di kubu lainnya) tidak dipilih lagi? Banyak pertanyaan gila dalam benak saya. Namun, saya tiba-tiba sadar, segenap pertanyaan itu hanya pertanyaan bodoh.
Sebab, ingatan masyarakat juga sangat lemah. Berkali-kali dikhianati, dengan modal uang seratus ribuan, suaranya nyata-nyata bisa dibeli. Lalu, kembalilah kita ke siklus semula: mereka pun terpilih lagi sebagai anggota dewan.
Demikianlah siklusnya akan berulang lagi. Akan ada drama, akan ada komedi. Semua dipertontonkan secara vulgar kepada kita. Sampailah saya pada pemikiran ini: kita ternyata tak bisa lepas dari kutukan siklus ini.
Jujur, saya tak sedang menyalahkan anggota DPRD lagi. Saya sedang mencecar pikiran kita mengapa terlalu polos dan memberi kepercayaan kepada mereka yang tak punya kompetensi? Namun, ya, ya, ya, ini hanya hiburan. Pertunjukan DPRD Humbang Hasundutan itu adalah bagian dari hiburan untuk rakyat. Rakyat sudah sedih sehingga harus dihibur dengan cara paling konyol.
Saya katakan hiburan sebab rakyat mana coba yang mau dibohongi dan dikhianati berkali-kali kalau bukan untuk hiburan? Andai ini bukan hiburan, mereka-mereka itu tak akan terpilih lagi bukan? Artinya, mereka terpilih hanya karena ini sebatas hiburan. Sebagai hiburan, tentu saja apa yang mereka lakukan adalah bagian dari humor. Memelintir Agus Noor dalam “Lelucon Para Koruptor”, motifnya sederhana: berlomba paling lucu.
Pasalnya, siapa paling lucu, maka ia akan menjadi pemimpin. Inilah dunia humor sesungguhnya. Kata Jaya Suprana pada suatu kali: humor biasanya tumbuh subur pada suasana kontradiktif dan munafik. Apakah DPRD kita munafik? Saya tak sedang membicarakan itu. Namun, apalah arti munafik dalam sebuah politik? Sebab, hingga sekarang ini, definisi politik dibuat serendah-rendahnya oleh para komplotan itu.
Politik semacam karnaval bagaimana mengucapkan kata-kata lalu mengkhianati kata-kata itu sendiri. Jadi, jangan habiskan tenaga kita untuk mencari dan menggali makna dari setiap kata yang terangkum dalam janji-janji para politisi.
Buang-Buang Energi
Adalah buang-buang energi untuk mencari makna, apalagi menagih janji dari para politisi, termasuk para DPRD itu. Jika janji mereka penuhi, tak butuh lima tahun, Humbang Hasundutan sudah pasti maju bukan?
Namun, bagi para politisi, janji bukan utang. Justru bagi mereka, janji adalah investasi sehingga berjanji berarti berinvestasi. Persetan dengan janji, apalagi menggenapinya. Sebab, janji adalah jalan bagi mereka untuk melenggang dengan bebas ke tampuk kekuasaan. Ada satu kata melegenda terkait ini dari Sastrawan Indra Tranggono terkait janji-jani, terutama dari para politisi.
Begini Indra Tranggono berkata: bahwa di negara ini, menjadi pemimpin itu sangat gampang. Cukup sederhana: berlatihlah menggunakan kata-kat prihatin sefasih-fasihnya. Saya tambahkan lagi: berlatihlah membuat kata-kata seakrobatik mungkin. Taburkan uang setelah kata-kata itu, maka Anda akan jadi pemimpin.
Ingatan rakyat sangat lemah. Mereka langsung lupa dengan kata-kata, apalagi jika sudah ditaburi rupiah. Mereka akan lupa bahwa Anda pernah tak bekerja selama seperiode penuh. Mereka juga akan lupa pada penyegelan ini. Maaf, saya tak sedang merepeti anggota DPRD yang menyegel.
Barangkali, ada yang mereka perjuangkan. Barangkali, anggota DPRD di kubu lain tidak secerdas yang menyegel meski artinya tak secerdas berarti juga tak sebodoh yang lain. Namun, bagi saya yang sudah kadung apatis, pekerjaan DPRD nyaris tak ada. Tetapi, tak apa-apa. Sebagai seniman atau sastrawan, saya selalu menghibur diri dengan mengutip kata-kata seniman lawas lainnya.
Setidaknya, William Shakespeare pernah berkata bahwa memang politisi itu adalah pemberani: berani menulis ungkapan berani, bersumpah dengan berani, dan juga akan melanggarnya dengan berani. Kurang berani apa lagi mereka bukan?
Kok, di akhir kalimat ini, saya jadi takut…
====
Penulis Peserta Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia 2020 dari Humbang Hasundutan, Aktif Berkesenian di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) Medan dan Toba Writers Forum (TWF), Instruktur Sastra Digital Tingkat Nasional.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]