Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
SEDANG hangat dibicarakan tentang guru, terutama di grup media sosial Humbang Hasundutan. Pembicaraan bermula dari keberatan seseorang karena dikutip uang sampul rapor sebesar Rp 35.000,00. Pembicaraan meluas. Uang sampul rapor itu kemudian seperti ditafsirkan sebagai uang terima kasih. Memang, uang terima kasih pada guru saat pembagian rapor kenaikan kelas semacam sudah menjadi tradisi. Malah, pada berbagai orang, diterjemahkan sebagai kewajiban, sehingga konon ada guru membuat permintaan khusus, bahkan dipatok.
Kenyataan tersebut, adanya pematokan uang terima kasih, memang sangat tak terpuji. Boleh dibilang, itu adalah tindakan pungli.
Sebagai informasi, ketika Saberpungli baru diaktifkan Presiden Jokowi, ranah pendidikan dua tahun berturut-turut masuk sebagai jajaran paling korup (marak pungli). Kita sangat menyesalkan itu. Bagaimana mungkin pungli justru berakar dari dunia pendidikan? Masyarakat meradang. Guru menjadi sasaran. Tetapi, ada kekeliruan sasaran (meski tak mutlak keliru). Seakan-akan tindakan pungli ini adalah didominasi guru. Padahal, tindakan pungli ini tidak selalu dilakukan guru.
Tindakan pungli dalam objek Saberpungli itu lebih pada manajemen pendidikan. Misal, pungli untuk calon kepala sekolah agar diluluskan sebagai kepala sekolah, pungli untuk guru agar diringankan dalam memberkasi kenaikan pangkat, pungli untuk calon siswa baru agar diterima di sekolah favorit.
Dari kenyataan di atas, guru cenderung menjadi korban pungli meski tak menutup mata ada juga oknum guru yang melakukan pungli secara terbuka. Pungli dari guru itu, misalnya, adalah pematokan uang terima kasih pada akhir semester, khususnya kenaikan kelas.
Sampai saat ini, sebagai guru, saya masih mempunyai idealisme bahwa patok-mematok itu bukan hal baik. Itu harus dilawan. Sebab, pembiayaan asal bukan dari jalannya, itu adalah bagian dari pungli.
Sekarang, mari diklasifikasikan: apakah pemberian orang tua tanpa permintaan guru bisa disebut pungli? Jika masih disebut pungli, maka kita harus mengakui bahwa dari dulu, pendidikan kita pendidikan pungli. Sebab, dulunya, rasa terima kasih kepada guru sering diungkapkan, bahkan dengan berbagai upeti, pemberian hasil panen, juga sejumlah uang. Itu dulu.
BACA JUGA: Tertawa Setengah Mati Melihat DPRD Humbang Hasundutan
Sekarang, tradisi pemberian ungkapan terima kasih itu beberapa masih ada yang awet meski bentuknya mulai menyempit: hanya uang. Bukan berarti hanya uang. Ketika mengajar di Kota Medan, saya sering mendapat hadiah, seperti baju, celana, tas. Saya pun menerimanya. Tetapi, bisa dipastikan, saya tak pernah meminta, bahkan tak pernah menyinggung secara halus sekalipun. Berita baiknya (atau mungkin buruknya?), dominan orang tua memberikan uang terima kasih dengan besaran yang bervariasi. Memang, ada juga yang tidak memberikan.
Namun, kepada mereka, saya memberikan senyum yang sama, bahkan menyalam mereka dengan jauh lebih akrab ketika mereka berkata 'maaf, tidak ada uang kami Pak Guru' dan saya pun menjawab: "Ini sudah lebih banyak dari yang lain". Saya mengatakan hal tersebut supaya orang tua yang tulus itu tak merasa bersalah. Kadang saya sambil bercanda, "Uang sertifikasiku dari kalian, kok". Padahal, saya belum sertifikasi. Yang mau disampaikan di sini adalah bahwa dominan masyarakat kita masih berterima kasih dengan tulus, apa pun bentuknya.
Ada dengan pemberian uang, ada dengan ungkapan setulus-tulusnya. Namun, ungkapan terima kasih itu bisa menjadi hilang ketika ada pematokan. Bisa saja orang tua hendak memberikan Rp 30.000, namun malah menolak karena sebelumnya ada pengumuman dari oknum untuk membawa uang terima kasih Rp 20.000,00. Itu murni saya peroleh ketika berbincang dengan orang tua siswa yang saat itu profesinya sopir angkot. Dan, Anda tahu, saya sangat terharu ketika besaran yang dia berikan jauh di luar imajinasi saya.
Karena itu, ketika sudah sepi, saya menghampiri orang tua itu yang masih menunggu anaknya berbahagia dengan teman-temannya untuk merayakan kelulusan. Saya berbicara bahasa Batak padanya: "Dang nasalah hamu Tulang mangalean amplop on? Balga isina?" Dia menjawab dengan bertanya? "Napaotik hu do Bapa?". Tentu saja saya menjawab itu sudah sangat besar. Bahkan dari pengusaha tidak saya dapatkan sebesar itu. Singkatnya, saya ingat kata beliau: andai dipatok Rp 20.000,00, saya tak akan memberikan apa-apa.
Artinya, pada umumnya, manusia punya refleks yang baik: mau berterima kasih. Namun, refleks itu bisa mendadak hilang ketika ada patokan. Baik, sekarang, mari berbicara hal lain. Karena bukan pengalaman saya, kebenaran yang akan saya ceritakan ini bisa diragukan. Intinya, konon ada juga masyarakat yang mulai kurang peduli atau tak mau berterima kasih. Walau demikian, saya pikir, mereka bisa dibenarkan. Sebab, bagi mereka ini, guru adalah pekerja. Barangkali, bagi mereka, itu sudah tugas mereka (guru), yaitu mengisi rapor dan mendidik anak.
Sekali lagi, ini bukan pengalaman saya. Ini adalah pengalaman dari teman yang ketika anaknya dijumpai lantaran tak pernah belajar daring, bahkan ditawari singgah di rumah dan minum sebagai basabasi pun tidak ada.
Saya berpikiran baik bahwa mungkin orang tua itu sungkan menawari guru sehingga mereka berbicara di pintu saja, termasuk ketika guru tersebut membagi-bagi rapor ke rumah lantaran pandemi. Pada intinya kita sedang membicarakan ini: apakah pemberian orang tua atau siswa kepada gurunya yang tanpa meminta adalah pungli?
Jawaban dengan berbagai argumen bisa beragam. Namun, bagi saya, itu sama sekali bukan pungli. Itu hanya bonus. Entah kita sadari, entah tidak, dalam keseharian, kita sering mendapat hal-hal tak terduga. Itu adalah bonus. Oh, iya, apa yang saya tuliskan ini hanya pendapat. Bisa ditolak, bisa disetujui. Jika setuju, berarti saya dapat bonus. Jika tidak, saya juga tak rugi. Sebab, saya punya prinsip: saya tak akan kaya dengan pemberian. Saya pun tak akan miskin tanpa pemberian. Ayo, mari bahu-membahu untuk membangun manusia-manusia tangguh yang tahu berterima kasih, tahu juga untuk menolak berkedok terima kasih
====
Penulis Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul, Aktif di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan di Toba Writers Forum (TWF).
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]