Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis-Medan. Secara umum masyarakat Sumatera Utara tahu makam Sisingamangaraja XII ada di Soposurung, Balige. Lokasinya berdekatan dengan TB Silalahi Center. Di kompleks pemakaman itu, tidak hanya makam Sisingamangaraja XII yang ada di tersebut, tetapi juga putrinya Si Boru Lopian dan kedua anaknya, Patuan Anggi dan Patuan Nagari.
Tetapi tidak banyak orang yang tahu, di hutan belantara Desa Sindias, Parlilitan, dimana Sisingamangaraja XII gugur, ada sebuah makam dengan nisan yang bertuliskan Sisingamangaraja XII. Di makam itulah persisnya Sisingamangaraja XII yang dijululi Tuan Bosar atau Ompu Pulo Batu ini, gugur.
Makam itu berbentuk persegi empat. Ukurannya kira- kira 3 X 4 meter. Permukaan makam timbuni pasir putih. Makam itu ditandai dengan sebuah prasasti yang bertuliskan makam Raja Sisingamangaraja XII. Juga ada sebuah bendera Batak dan beberapa peninggalan semacam pusaka berupa cawan.
Tidak jauh dari makamnya ada sebuah makam besar yang ditandai dengan 3 nisan. Makam itu adalah para panglima Sisingamangaraja XII yang berasal dari Aceh.
Dari laporan resmi Belanda yang kemudian diakui Pemerintah Indonesia, Sisingamangaraja XII tewas ditembak, setelah ia berupaya menyelamatkan Si Boru Lopian, putrinya, yang lebih dulu tertembak.
Seperti yang dikisahkan dalam buku “Toba Na Sae” karya Sitor Situmorang, di hari itu, pasukan Belanda mengepung benteng pertahanan mereka yang ada di Desa Sion Utara, Parlilitan.
Melihat itu, Sisingamangaraja XII beserta pengikutnya berupaya menghindar memasuki hutan. Namun Si Boru Lopian putrinya tertembak. Melihat putrinya terkapar, Sisingamangaraja XII balik mendatangi putrinya. Saat itulah bedil Belanda menembus tubuhnya. Di depan putrinya Sisingamangaraja XII disiksa dengan begitu sadis.
Disebutkan di beberapa literatur, itulah pertama kali pasukan Belanda melihat langsung wajah Sisingamangaraja XII, setidaknya selama 32 tahun perlawanan Sisingamangaraja XII.
Konon, setelah dipastikan wafat, Christofel yang tak lain pimpinan pasukan Belanda itu menyuruh anak buahnya untuk mengangkat jasad Sisingamangaraja XII untuk diarak demi melemahkan semangat pengikutnya.
Namun hal itu tak dapat dilakukan. Tubuh Sisingamangaraja XII tak bisa diangkat. Lalu ia menyuruh memenggal lehernya. Tetapi hal itu juga tak bisa dilakukan. Akhirnya dengan setengah menyerah, Christofel memerintahkan agar pasukannya memenggal leher salah seorang panglimanya.
Kepala itulah yang kemudian diarak keluar masuk kampung. Lalu ada versi yang menyebut jasad itu dimakamkan di Pearaja, Tarutung. Tetapi kemudian pada tahun 1953, Presiden Soekarno meminta agar tulang belulang Sisingamangarja XII dipindahkan ke Balige.
Klaim
Namun sebagian besar masyarakat Parlilitan masih meyakini bahwa jasad Sisingamangaraja XII masih ada di makam, di lokasi tempat ia tertembak. Hal itu juga diyakini cicit Sisingamangaraja XII, Raja Tonggo kepada medanbisnisdaily.com beberapa waktu lalu.
Meski begitu, Raja Tonggo tidak ingin ada prokontra di masyarakat. Ia sebagai warga negara setuju dengan versi pemerintah itu, tetapi sebagai keluarga, perlu melakukan riset lebih jauh lagi.
“Sebagai sejarah boleh saja hal itu dipastikan kebenarannya, tetapi jangan sampai menimbulkan kericuhan,” katanya.
Sementara, bagi sebagian masyarakat Parlilitan yakin jasad Sisingamangaraja XII masih tetap berada di makam yang lama. Bahkan, hingga kini masyarakat di sekitar makam itu begitu sangat menghormati makam tersebut.
Setiap kali ada orang yang tidak dikenal memasuki hutan tempat makam itu berada, mereka akan langsung mengawasi dan mananyakan maksud kedatangan mereka. Mengingat bukan satu dua kali ada orang yang ingin membongkar makam itu dengan maksud tertentu. Termasuk mereka yang mempunyai tujuan mistis.
Tanpa ada yang meminta masyarakat yang berladang di sekitar makam, menjaga keberadaan makam. Hal itu mereka lakukan karena bagi mereka makam itu tidak hanya sekadar sebagai warisan sejarah, melainkan juga bentuk penghormatan mereka terhadap Sisingamangaraja XII itu sendiri.
Tidak heran bila keberadaan makam Sisingamangaraja XII di Desa Sindias itu belum dibuka untuk umum. Penulis berkesempatan melihatnya beberapa tahun lalu atas dorongan Bupati Humbahas kala itu Maddin Sihombing.
Secara diplomatis, ia menyebut perilaku yang diperlihatkan masyarakat itu adalah atas kesadaran yang didasarkan keyakinan mereka sendiri. Pihaknya (pemerintah) menghormati keyakinan itu. Apalagi sepanjang perjuangan menentang Belanda, Sisingamangaraja XII memang kontroversial.
Jika semangatnya untuk mencari kebenaran silahkan. Tapi jangan sampai melukai hati masyarakat.