Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Jakarta. Komoditas garam saat ini tengah jadi sorotan. Penyebabnya, terjadi kelangkaan menyusul tingginya curah hujan di sentra-sentra produksi garam. Sebagai solusinya, pemerintah membuka impor 75.000 ton garam dari Australia melalui PT Garam (Persero).
Kepala Pusat Riset Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Riyanto Basuki, mengungkapkan salah satu yang selama ini jadi hambatan peningkatan produksi garam lokal yakni harga garam yang rata-rata relatif rendah, khususnya saat panen.
"Kuncinya satu, kalau garam harganya kompetitif seperti sekarang ini, orang akan mau produksi garam. Teknologi garam itu sudah ada di petambak rakyat, tapi masalahnya harga sangat jatuh. Sehingga keinginan orang memproduksi garam itu rendah," kata Riyanto, Selasa (1/8).
Saat panen, sambungnya, harga garam di tingkat petambak berada di kisaran Rp 200-250/kg. Jauh di bawah harga ideal agar petambak garam bisa meraup untung yang wajar yakni Rp 600/kg.
"Pas musim panen garam harganya sangat jatuh, orang malas produksi garam karena cuma dihargai Rp 200-250/kg. Bahkan ada kasus saat panen pernah sampai Rp 100/kg. Jadi pengaturan harga untuk stabilisasi ini sangat penting," terang Riyanto.
"Kalau dengan cara tambak konvensional HPP (harga pokok produksi) garam Rp 325-350/kg. Kalau dengan teknologi (rumah garam) prisma sekitar Rp 600-700/kg. Tapi harga garam dari prisma lebih bagus sehingga harganya lebih tinggi. Jadi istilahnya kalau harga keberpihakan ke petambak ya Rp 600-700/kg," lanjut Riyanto.
Lanjut dia, jika dibandingkan dengan harga garam impor asal Australia yakni berkisar Rp 600/kg. Namun demikian, garam impor tersebut berkualitas tinggi lantaran memiliki kadar NaCL yang lebih tinggi.
"Harga garam impor Australia ini sekitar Rp 600/kg, tapi garam dari Australia yang digunakan sebagai bahan baku untuk industri ini sudah bagus dari sananya, lebih bagus NaCL-nya," ungkap Riyanto. (dtf)