Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Jambaran. Proyek gas Jambaran-Tiung Biru akhirnya bisa dimulai setelah PLN dan Pertamina menandatangani Head of Agreement (HoA). PLN akan membeli gas Jambaran-Tiung Biru dari Pertamina sebanyak 100 MMSCFD dengan harga flat US$ 7,6/MMBTU selama 30 tahun dari 2020 sampai 2050.
Sebelumnya pengembangan lapangan Jambaran-Tiung Biru sempat terkatung-katung karena harga gasnya terlalu tinggi, sehingga Pertamina kesulitan mendapatkan pembeli gas.
Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar, menuturkan bahwa pihaknya memutar otak untuk menurunkan harga gas Jambaran-Tiung Biru. Caranya dengan menurunkan capital expenditure (capex) alias belanja modal untuk pengembangan Lapangan Jambaran-Tiung Biru.
Plan of Development (PoD) Jambaran-Tiung Biru ditandatangani pada 2015, awalnya biaya investasi direncanakan sebesar US$ 2,05 miliar. Dengan biaya investasi sebesar itu, maka harga gas di hulu sekitar US$ 9/MMBTU, kemahalan buat PLN.
"Pada saat diajukan, biaya dari POD pertama 2015 menghabiskan kira-kira US$ 2,05 miliar. Dalam prosesnya, kita evaluasi apakah dengan US$ 2,05 miliar itu bisa enggak harga gasnya dibeli PLN? Ternyata cukup mahal, sekitar US$ 9/MMBTU plus eskalasi 2%. Enggak masuk keekonomian PLN," kata Arcandra dalam konferensi pers di Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (8/8/2017).
Arcandra mengatakan, pemerintah meminta Pertamina EP Cepu (PEPC) dan ExxonMobil yang menjadi kontraktor di sana menurunkan capex. Setelah dihitung-hitung, capex bisa turun jadi US$ 1,8 miliar.
"Pemerintah minta harganya diturunkan, ini kemahalan. Akhirnya saat bidding, turun cukup banyak jadi sekitar US$ 1,8 miliar," tukasnya.
Tapi penurunan itu ternyata belum cukup, dengan capex sebesar itu harga gas masih di atas US$ 8/MMBTU. PLN ingin harga gas di bawah US$ 8/MMBTU. "Kalau US$ 1,8 miliar belum masuk keekonomian PLN," dia melanjutkan.
Dalam perkembangannya, akhirnya PEPC mau menurunkan capex menjadi hanya US$ 1,55 miliar sehingga harga gas bisa di bawah US$ 8/MMBTU, cukup ekonomis buat PLN. "Kita diskusikan panjang lebar bagaimana menurunkannya. Pertamina akhirnya mau menurunkan lagi capex US$ 250 juta, harganya jadi sepakat dengan PLN flat sepanjang 30 tahun sampai kontrak berakhir US$ 7,6/MMBTU," kata Arcandra.
Penurunan capex ini membuat ExxonMobil mundur dari Jambaran-Tiung Biru, perusahaan raksasa migas asal Amerika Serikat (AS) itu tak mau mengembangkan Jambaran-Tiung Biru dengan biaya US$ 1,55 miliar. Maka pemerintah mendorong PEPC untuk mengakuisisi Hak Partisipasi Exxon di Jambaran-Tiung Biru. Sekarang negosiasi hampir selesai, PEPC akan mencaplok seluruh Hak Partisipasi Exxon.
"Kalau ini di-develop dengan Exxon, dengan proporsi biaya mereka ini enggak masuk. Akhirnya secara Business to Business Exxon mau mengalihkan sahamnya ke PEPC, sehingga PEPC memiliki Jambaran-Tiung Biru 100%," ucapnya.
Arcandra berharap pengembangan lapangan Jambaran-Tiung Biru segera dikebut dan mulai produksi gas (on stream) sesuai jadwal pada 2020. Gas dari lapangan ini akan dimanfaatkan untuk pembangkit listrik dan industri di Gresik-Semarang. "Gas Jambaran-Tiung Biru menjadi penggerak ekonomi, bukan lagi komoditi," tutupnya. (dtf)