Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Jakarta. Pemerintah lewat Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertahanan, tengah memfinalkan rencana barter pesawat Sukhoi Su-35 bu dengan komoditas perkebunan seperti karet, kopi, teh, dan minyak sawit.
Skema barter dengan imbal dagang (counter trade) dengan pesawat Sukhoi ini sebelumnya pernah dilakukan di era Presiden Megawati Soekarno Putri.
Wakil Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI), Pranoto Soenarto, mengatakan perlu kajian mendalam lagi terkait hitungan untung rugi jika komoditas perkebunan dari Indonesia dipilih untuk dibarter dengan pesawat Sukhoi.
Ini karena komoditas perkebunan Indonesia seperti kopi, kata dia, cukup laris di pasaran dunia. Bahkan, pasokannya kerap kurang dibandingkan dengan permintaannya.
"Sebetulnya bisa dibilang kurang efektif kalau pesawat dengan komoditas perkebunan, katakanlah kopi, sawit, karet, dan kakao. Karena bagi Rusia ada kesulitan dalam menjual pesawat, kebutuhannya juga tidak setiap saat," kata Pranoto kepada detikFinance, Kamis (10/8/2017).
Menurut dia, kopi Indonesia tanpa barter pun sudah banyak dicari di pasar ekspor. Supaya menguntungkan kedua belah pihak, perlu ada hitungan pada komoditas yang dibarter dengan Sukhoi.
"Sementara dibandingkan dengan misalnya kopi Indonesia, pasarnya banyak sekali ke dunia. Malah kadang kita kesulitan cari pasokan kopi. Artinya perlu dipertimbangkan lagi komoditasnya, karena tanpa imbal dagang atau apa pun namanya, kopi kita sudah bagus di pasar ekspor," jelas Pranoto.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki), Fadhil Hasan, menambahkan perlu diperhitungkan soal untung rugi dalam jangka panjang.
"Sukhoi sendiri sesuai kebutuhan, apakah benar-benar butuh, selama butuh tak masalah. Kemudian setelah pembelian, ada kewajiban maintenance pesawat dan lainnya. Terus apa jangka panjang keuntungan untuk komoditas Indonesia? Apa kesulitan yang selama produk Indonesia di sana, ini yang perlu dibahas agar saling menguntungkan," kata Fadhil.
Dia menuturkan, selama ini ekspor minyak sawit ke Rusia sendiri terus mengalami pertumbuhan.
"Tanpa ada barter, sawit kita ekspornya cukup bagus ke Rusia, dan terus tumbuh karena permintaannya cukup tinggi," jelas Fadhil.
Lanjut dia, agar tak saling merugikan, perlu pula transparansi terkait volume dan nilai ekspor komoditas yang dibarter ke publik, termasuk valuasi pesawat Sukhoi dari Rusia sendiri.
"Mungkin transparansinya yang perlu ada, harus jelas ke masyarakat berapa harga komoditasnya, misalnya berapa dibutuhkan sawit untuk satu pesawat, berikut harganya. Kemudian berapa harga Sukhoi," terang Fadhil. (dtf)