Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Jakarta. Setelah era Orde Baru, pemerintah menerapkan otonomi daerah (Otda). Kewenangan pemerintah daerah diperkuat, baik di provinsi maupun kabupaten/kota.
Salah satu kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah adalah penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP), itu terjadi pada 2009. Efeknya, jumlah IUP di Indonesia meningkat lebih dari 10 kali lipat alias 1.000% dari hanya 900 menjadi sekitar 10.000 izin.
Masalahnya, tak semua IUP yang diterbitkan kepala daerah sudah Clean and Clear (CnC). Banyak yang tidak memenuhi aspek administrasi dan kewilayahan.
Dari 10.000 IUP itu, hanya kurang lebih 6.000 yang CnC, sisanya sebanyak 4.000 IUP tidak CnC alias abal-abal.
Gara-gara IUP non CnC yang diterbitkan bupati/wali kota itu, negara bisa rugi triliunan rupiah. Izin tambang bodong jadi celah bagi perusahaan-perusahaan lokal maupun asing untuk menggugat ganti rugi ke pemerintah hingga triliunan rupiah.
Sudah 2 perusahaan asing yang menggugat ganti rugi triliunan rupiah ke pemerintah Indonesia, yaitu Churchill Mining dari Inggris dan India Metals and Ferro Alloys Limited (IMFA).
Gugatan Churchill baru saja diputuskan arbitrase internasional pada Desember 2016 lalu, pemerintah Indonesia yang menang. Sedangkan gugatan IMFA masuk pada September 2015 dan akan diputuskan bulan depan.
Pengamat Hukum Sumber Daya Alam, Ahmad Redi, menduga ada unsur kesengajaan dari perusahaan-perusahaan asing tersebut. Kemungkinan keduanya memang mengincar ganti rugi dari pemerintah.
"Praktik pertambangan di daerah memang suram. Pemerintah pusat yang jadi sasaran tembak, digugat triliunan rupiah oleh perusahaan asing. Bisa jadi ini disengaja, mengambil alih IUP cacat untuk mendapat ganti rugi triliunan rupiah. Ini bisa jadi celah bagi perusahaan asing," kata Redi, Senin (21/8).
Modusnya sama, keduanya mengakuisisi perusahaan lokal pemegang IUP non CnC, lalu menggugat pemerintah karena ternyata izin tambang yang dipegang ternyata bodong sehingga tak bisa melakukan kegiatan pertambangan.
"Ketika IUP dianggap cacat (tidak CnC), mereka menggugat untuk mengambil manfaat, bisa dapat triliunan rupiah," papar Redi.
Untuk mencegah modus ini, pemerintah harus segera menertibkan IUP non CnC. Kementerian ESDM telah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 (Permen ESDM 43/2015) untuk menata ribuan IUP abal-abal yang tidak CnC.
Berdasarkan aturan ini, semua IUP non CnC yang tidak jelas tindak lanjutnya otomatis harus dicabut oleh gubernur pada 2017. Per Semester I-2017, 439 IUP non CnC telah dicabut, lalu 725 IUP sedang dalam proses untuk menjadi CnC. (dtf)