Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Sampai kini, ulos masih digunakan sebagian besar masyarakat Batak Toba, terutama dalam kegiatan adat dan budaya mereka. Bahkan produksinya pun cenderung meningkat.
Hal itu dikarenakan ulos tidak lagi dipandang sebagai benda yang fungsinya sebatas menyangkut adat dan budaya orang Batak Toba itu sendiri. Namun ulos juga telah menjadi fashion yang bisa digunakan siapa saja.
Motif-motif yang ada padanya juga telah diangkat ke dalam berbagai komoditi lain. Penggemarnya pun datang dari berbagai kalangan. Tidak hanya orang Batak itu sendiri, juga masyarakat non Batak. Kini ulos dan berbagai varian yang terinsipirasinya darinya itu, telah menjadi market bisnis yang menjanjikan. Ulos telah menjadi produk industri tanah air.
Tetapi di sisi lain, ternyata hal itu juga membawa dampak buruk bagi kebudayaan itu sendiri. Ketika ulos tak lagi ditenun dengan tangan, berbagai pengetahuan dan nilai-nilai yang ada di dalamnya pun juga turut menghilang.
Hal itu dijelaskan salah seorang peneliti ulos, MJA Nashir kepada medanbisnisdaily.com, Selasa (12/10/2017).
Dikatakan pria asal Jawa ini, sejak ulos diproduksi pabrik, orang Batak Toba telah kehilangan aspek budaya yang tak kalah pentingnya. Antara lain keterampilan menenun ulos itu sendiri, histori ulos dan bahkan sebagian nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Sekadar informasi, bersama dengan Sandra Niessen, Nashir terlibat dalam penelitian ulos. Mereka telah membukukan hasil penelitian dalam bentuk buku berjudul “Legacy in Cloth : Batak Textile of Indonesia” dan juga dalam bentuk film dokumenter “Rangsa Ni Tonun”.
“Saya dan Sandra Niessen (antropolog Belanda-pen) sejak 2010 melakukan riset tentang ulos. Kami turun ke desa-desa yang ada di Samosir dan pemukiman masyarakat Batak Toba lainnya. Dari riset itu, kami mendapati fakta, tak banyak lagi orang Batak yang tahu menenun ulos. Karenanya kami kemudian membuat program revitalisasi tenun ulos,” katanya.
Dijelaskan Nashir, menenun ulos itu tidak sekadar membuat ulos. Banyak pengetahuan dan nilai-nilai yang melekat di dalamnya.
Misalnya secara ekologis. Ulos yang dibuat dengan menenun ulos itu tidak menghasilkan limbah. Karenanya semua bahan dasarnya berasal dari alam. Contohnya zat pewarna. Dulu zat pewarna yang dipakai berasal dari tumbuhan-tumbuhan tertentu. Tidak ada bahan kimia seperti yang dibuat secara industri.
Dari sisi budaya, ulos juga mengandung nilai-nilai spritualitas yang dalam bagi masyarakat Batak Toba. Pembuatan ulos dengan cara tenun itu, berkaitan dengan kisah penciptaan orang Batak Toba dengan tokohnya Si Boru Deak Parujar.
Dalam budaya Batak Toba disebutkan bahwa Si Boru Deak Parujar adalah dewi yang menempah bumi dan kehidupan yang menopangnya. Dengan kata lain, pada saat seseorang sedang menenun ulos, ia sedang mengenang kisah penciptaan itu. Karenanya menenun ulos itu ada “rangsa”nya (semacam mantra yang dinyanyikan-pen).
“Dengan menenun ulos itu, akan mengingatkan orang Batak Toba untuk selalu melihat dirinya sebagai bagian dari lingkungan dan semesta yang tidak melulu kasat mata. Ulos diterjemahkan sebagai simbol untuk menjaga kehidupan manusia serta relasi dengan lingkungannya, tetap terpelihara dan seimbang,” jelasnya.
Tantangan Revitalisasi
Kata Nashir, selama mereka mencoba merevitalisasi agar masyarakat Batak Toba mau kembali menenun ulos, selalu berhadapan dengan banyak tentangan. Yang paling utama adalah terkait dengan aspek ekonomi masyarakat itu sendiri.
“Menjadi penenun bukanlah pekerjaan profit. Tidak menghasilkan. Karenanya sebagian besar penenun itu hidupnya miskin. Mereka lebih suka bertani atau nelayan. Karena itu banyak penenun yang tak ingin anaknya juga menjadi penenun. Mereka disuruh merantau. Baik untuk bersekolah maupun mencari kerja,” ujarnya.
Seiring dengan itu, hegemoni para toke dan pasar juga ikut berpengaruh. Secara tak langsung mereka telah melumpuhkan keahlian penenun. Harga dari pabrik itu jauh lebih murah. Membuat orang tidak mau lagi membeli ulos yang dari tenunan tangan. Pasar sama sekali tidak berpihak kepada para penenun itu.
Ditanya soal pengembangan Danau Toba yang sekarang sedang “hangat-hangatnya”, Nashir punya pendapat tersendiri. Menurutnya, upaya-upaya yang dilakukan pemerintah itu masih sebatas aspek pariwisata. Belum menyentuh bagian yang paling mendasar. Pembangunan sebagai kawasan tidak sekadar secara fisik namun juga mental dan masyarakatnya. Hal itu justru yang paling penting sekaligus sulit untuk dilakukan.
“Seandainya pariwisata di kawasan Danau Toba itu semakin berkembang, tetapi bila secara kebudayaan masyarakatnya tidak siap, apa artinya. Kita bukan mau kembali ke belakang. Tidak. Yang kita perjuangkan adalah bagaimana nilai-nilai yang di dalam sebuah produk budaya itu sampai pada generasi selanjutnya. Jika nilai-nilai itu tidak didapat, maka ulos tidak ada artinya,” ungkapnya.