Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Pekanbaru. Dalam hitungan sebulan, tercatat tiga binatang buas yakni buaya, ular piton dan beruang menyerang warga. Ada 4 orang jadi korban, dua di antaranya tewas mengenaskan.
Konflik antara satwa liar dengan masyarakat di Riau masih terus terjadi. Dulunya, konflik terjadi antara gajah dengan warga. Bila terjadi konflik, biasanya gajah selalu menjadi tumbal oknum warga yang menebar racun agar perladangannya tidak diganggu.
Padahal gajah tidak pernah ingin menyerang warga dan merusak perkebunan sawit atau perladangan milik warga. Kawasan itu hanya akan dirusak gajah, karena dulunya adalah habitat mereka.
Hilang kabar soal konflik gajah dengan manusia, kini yang teranyar konflik dengan buaya, ular piton dan beruang. Dalam catatan detikcom, terjadi tiga konflik yang rentang waktunya saling berdekatan.
Kejadian pertama menimpa warga Rokan Hilir (Rohil), Suprianto (46). Pria itu hilang dari gubuknya tempat dia bekerja.
Pria yang kerjanya serabutan itu, dinyatakan hilang pada Kamis (14/9) oleh rekannya. Empat hari kemudian, Senin (18/9), Suprianto ditemukan warga hanya tersisa tulang belulang.
Korban diyakini warga setempat telah menjadi santapan buaya muara. Hingga kini, Rabu (4/10/2017), bagian kepalanya belum diketemukan. Jasad korban yang tersisa tulang dibawa keluarganya ke kampung halamannya untuk dikebumikan.
Tak lama setelah peristiwa Suprianto, kabar konflik dengan satwa terjadi di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu). Pada Sabtu (30/9), Robert Nababan (37) sebagai Satpam di perusahaan sawit di Riau diserang ular piton raksasa sepanjang 7 meter.
Korban diserang bagian tangannya. Gigitan ular piton itu membuat lengan kirinya tercabik-cabik. Robert pun harus dirawat di RSUD Pematang Rebah.
Sedangkan ular piton akhirnya dibunuh warga untuk melepaskan gigitannya dari tangan korban. Satwa melata itu akhirnya menjadi hidangan di meja makan warga.
Setelahnya kejadian ketiga berhubungan dengan beruang. Korbannya, Saruli (60) dan istrinya Bunoi (55) warga Teluk Paman Kec Kampar Kiri.
Pasutri ini menjadi korban kegenasan beruang pada Selasa (3/10) sekitar pukul 10.00 WIB. Dalam peristiwa ini, istrinya Bunoi meninggal dunia dengan luka cakaran beruang di sekujur tubuhnya.
Suaminya Saruli selamat. Tapi dia pun kondisinya mengenaskan. Badannya penuh luka cakaran beruang. Kuku tajam beruang sudah mencabik-cabik badannya. Kini, Saruli menjalani operasi terpadu oleh tim medis RSUD Arifin Achman Pekanbaru.
Lantas apakah ini bertanda satwa liar terusik karena habitatnya banyak beralih fungsi?
Humas WWF Riau, Syamsidar mengatakan, secara umum habitat satwa di Riau mengalami penurunan sangat drastis. Kondisi habitat satwa liar khususnya gajah, harimau, beruang sudah kehilangan sampai 70 persen.
"Bila terjadi konflik manusia dengan satwa liar terutama gajah, harimau atau beruang, ini sangat keterkaitan dengan habitat satwa yang sudah banyak beralih fungsi. Bisa berubah jadi perkampungan, perkebunan sawit dan hutan tanaman industri," kata Syamsidar.
Untuk peristiwa beruang menyerang warga, kata Syamsidar, juga tidak terlepas dari persoalan habitat. Memang, dari data yang dikumpulkan pihak WWF Riau, di Desa Teluk Paman, Kec Kampar Kiri, warga selama ini tidak pernah melihat adanya beruang masuk perkampungan.
"Namun tiba-tiba ada beruang menyerang warga. Mungkin kawasan di sekitar desa itu kawasan hutannya masih terjaga baik. Tapikan, bisa jadi secara luas lagi habitat beruang justru sudah terancam, sehingga beruang itu harus masuk ke kawasan perkampungan," kata Syamsidar.
Kondisi habitat satwa liar yang terus berkurang membuat wilayah jelajahnya berkurang. Mata rantai makanan otomatis juga berkurang.
"Kondisi itu sangat memungkinkan satwa liar akhirnya mencari makan mendekati pemukiman penduduk," kata Syamsidar.
Di Riau, kata Syamsidar, konflik satwa kerap terjadi antara gajah dengan manusia, termasuk juga dengan harimau. "Persoalan konflik ini masih akan terjadi di Riau akibat habitat satwa liar yang semakin menyempit," ujar Syamsidar. (dtc)