Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Jakarta - Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengulitistrategi pemerintah dalam memerangi kejahatan terorisme. Tito juga mengungkapkan pandangannya tentang kelemahan negara melawan para teroris.
Hal itu disampaikannya dalam orasi ilmiah pada acara pengukuhan dirinya sebagai guru besar STIK/PTIK bidang ilmu kontraterorisme. "Untuk melengkapi strategi hard approach, pemerintah juga menggunakan strategi soft approach, yaitu melalui upaya pencegahan dan penangkalan berkembangnya ideologi Islam radikal," kata Tito dalam orasi ilmiahnya auditorium STIK/PTIK, Jalan Tirtayasa, Kamis (26/10/2017).
Strategi pertama adalah melakukan kontraradikalisasi yang ditujukan kepada kelompok-kelompok masyarakat yang rentan terhadap penyebaran paham radikal.
"Kedua, deradikalisasi yang ditujukan kepada mereka yang sudah terkena dan mempunyai paham dalam segala tingkatan. Dilakukan pendataan terhadap yang sudah terekrut, melakukan pendekatan dan analisis motivasi mereka bergabung dengan kelompok radikal," terang Tito.
"Program ini juga dilakukan terhadap pelaku yang sedang ditahan di LP, namun pola ini belum tertangani dengan baik karena belum adanya program yang jelas dalam rangka deradikalisasi," sambung Tito.
Selanjutnya, Tito menyampaikan strategi kontraideologi, yaitu dengan menyebar paham yang moderat melalui peran orang-orang yang berpengaruh, seperti para sarjana, ulama, eks teroris yang berideologi Islam moderat, demokratis, dan Pancasilais.
"Keempat, menetralkan channel atau media, khususnya media elektronik yang digunakan untuk penyebaran paham radikal. Mengawasi secara ketat konten-konten yang terindikasi radikal," ujar Tito.
Strategi soft approach yang terakhir adalah menjaga situasi kondusif. Tito menerangkan paham radikalisme atau terorisme dapat timbul di tengah situasi kemiskinan, kesenjangan ekonomi, balas dendam, maupun karena merasa termarginalkan. "Bahwa ada tiga motif utama pelaku teror melakukan aksinya, yaitu ideologi, emosi, dan materi," tutur dia.
Strategi hard approach yang pada awal 2000-an dilakukan polisi, terang Tito, dewasa ini mengalami kendala. Tito mengeluhkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tak dapat mengakomodasi perkembangan teroris di Tanah Air.
"Polri tidak dapat melakukan tindakan terhadap aktivitas pelatihan (terorisme), kecuali bila menggunakan senjata api atau bahan peledak. Terhadap orang yang sudah nyata-nyata masuk organisasi teroris namun tidak melakukan aksi teror, Polri juga tidak dapat melakukan penangkapan," keluh Tito.
"Penegakan hukum hanya dapat dilakukan ketika ada perbuatan nyata pengeboman maupun penyerangan lainnya, sementara terhadap perbuatan awal belum dapat dikriminalkan," imbuh Tito.
Tito mengungkapkan jaringan teroris yang ada saat ini lebih berbahaya dibandingkan jaringan teroris pada awal 2000-an. Ideologi teroris yang berkembang di Indonesia pada awal 2000-an menganut ideologi salafi jihadi, yakni tidak diperbolehkan membunuh sesama muslim.
Ideologi teroris saat ini adalah takfiri, yang konsep utamanya adalah tauhid. "Berpandangan bahwa segala sesuatu yang tidak berasal dari Tuhan dan diperuntukkan buat Tuhan dapat dihancurkan. Mereka yang berbeda aliran boleh dibunuh, termasuk sesama muslim," tutur Tito.
Metode penyebaran paham terorisme dan model penyerangan terhadap objek teror pun berbeda antara awal 2000-an dan saat ini. "Akibat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, ancaman terorisme lainnya muncul di Indonesia. Lonewolf atau self radicalism yang penyebarannya tidak mempunyai batas dan berafiliasi ke ISIS," ucap Tito.
Para lonewolf, kata Tito, beroperasi sendirian, tak terdeteksi, motifnya tak jelas, dan belajar paham terorisme melalui media internet. Mereka pun belajar meneror dan menciptakan benda-benda berbahaya dari internet.
"Aksi-aksi ini lebih didorong oleh aspek ideologis, yaitu keinginan melaksanakan jihad yang mereka anggap fardu ain atau wajib bagi setiap muslim menegakkan syariah," tandas Tito.
Tito memaparkan data selama periode 2010 hingga 2017, terdapat 130 aksi teror. Polri telah menangkap 896 tersangka yang diduga memiliki kaitan dengan aksi teror, 126 orang di antaranya meninggal, 674 orang teroris diajukan ke persidangan, dan 96 orang dilepas oleh putusan pengadilan. dtc