Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Belasan tahun mengabdi sebagai dokter di PT Perkebunan Negara (PTPN) 3, kini nasib masa depan karir dr. Ranita Purnamasari Sinulingga (45) sebagai penyembuh orang-orang sakit jadi tak menentu.
Terhitung sejak 16 Oktober 2017 lalu ibu tiga orang anak tersebut dipecat atau di-PHK (pemutusan hubungan kerja) perusahaan perkebunan milik negara tersebut. Satu peristiwa kelam yang tak pernah terpikirkan olehnya sebelumnya. Padahal untuk mencapai status sebagai dokter tetap yang diraihnya, harus menempuh jalan yang tak mudah dan membutuhkan waktu bertahun.
"Beruntung" Ranita tak sendirian. Senasib dengannya, terdapat delapan dokter lainnya yang juga diberhentikan PTPN 3. Ditambah seorang lagi yang bekerja sebagai apoteker, genap sepuluh orang mereka dipecat pada hari yang sama, 16 Oktober 2017.
Maka mulailah mereka bergerilya, memperjuangkan nasibnya agar bisa dipekerjakan kembali entah sebagai apapun itu terkait dengan spesislisasi kemampuannya. Walau ditempatkan dimanapun. Segenap kemampuan dikerahkan, semua peluang yang memberi ruang bagi mereka kembali bekerja di PTPN 3 digunakan.
Itu alasannya mereka kemudian mendatangi Komisi VI DPR RI yang membidangi ketenagakerjaan. Kepada "Oneng" Rieke Dyah Pitaloka di gedung parlemen semua masalah secara kronologis berikut bukti-bukti tertulis mereka paparkan. Bersama dr. Silvia Handayani (37) yang senasib dengannya, Ranita bertemu Rieke yang berasal dari PDI Perjuangan.
Kementerian Tenaga Kerja selanjutnya mereka sambangi. Hal serupa sebagaimana dengan Rieke dilakukan. Golnya, bagaimana agar PTPN 3 membatalkan keputusan yang mem-PHK mereka.
Kementerian BUMN sebagai wakil pemerintah yang merupakan pemilik saham PTPN 3 turut disambangi. Maksudnya agar sang Menteri Rini Soemarno melihat betapa PTPN 3 telah membuat nasib kehidupan Ranita Cs sedang menuju arah yang tak menentu.
Berharap kebijakan pemecatan mereka oleh PTPN 3 dianulir, badan yang bertugas mengawasi kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan pemerintah yakni Ombudsman turut didatangi Ranita dan Silvia.
"Pokoknya lembaga dan Kementerian terkait yang memungkinkan kami dipekerjakan kembali kami datangi untuk mengadu," ujar Silvia kepada medanbisnisdaily.com, Senin (30/10/2017).
Karena perlakuan PTPN 3 merupakan tindak kesewenang-wenangan yang dirasa bertentangan dengan hak mereka sebagai manusia, Komnas HAM disambangi.
Sampai-sampai, saking geram dan marahnya mereka kepada tindakan PTPN 3 yang dinilai menyalahi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun didatangi guna mengadu.
"Di KPK kami dibilang salah kamar, itulah begitu marahnya kami kepada PTPN 3," ujar Silvia didampingi Ranita, dr. Henny Safrita Ginting (32) dan Hamidah (51) saat bertemu medanbisnisdaily.com.
Sejauh ini, kata Ranita, Rieke dari Komisi VI DPR RI dan Kemenaker telah merespon pengaduan mereka. Dengan bekal fakta-fakta tertulis yang disampaikan, Rieke dan Kemenaker disebutkan akan mengupayakan mediasi antara mereka dengan PTPN 3.
Oleh sebuah kebijakan pemerintah pusat yakni UU No. 44/2009 tentang Rumah Sakit yang tidak memperbolehkan perusahaan BUMN seperti PTPN 3 mengelola RS sebagai usaha lain, maka perkebunan terbesar milik pemerintah ini mengeluarkan lima RS miliknya (spin off) dari pengelolaan oleh manajemen.
Kelima RS dimaksud adalah Sri Pamela, Mambang Muda, Aek Nabara, Sungai Dadap dan Tergamba. Kelimanya ditutup. Kemudian didirikan badan usaha tersendiri yakni PT Sri Pamela Nusantara Medika menggantikan RS-RS tersebut.
Seluruhnya, papar Silvia, mulanya terdapat 278 orang yang tercatat sebagai karyawan di seluruh RS. Terdiri atas dokter, perawat dan pekerja lainnya. Kepada mereka ditawarkan pilihan pensiun sukarela (PPS) dan pensiun khusus (PPK) dengan kompensasi pesangon sesuai masa kerja.
Kepala Bagian SDM PTPN 3 Amalia Nasution pernah menjelaskan kepada medanbisnisdsily.com dialokasikan dana sebesar Rp 44 miliar untuk program PPS dan PPK tersebut.
Jika PPS adalah program yang bisa dilaksanakan langsung oleh karyawan yang memilih keluar dan tidak bekerja lagi di PTPN 3, PPK diperuntukkan bagi yang masih menginginkan terus bekerja. Kepada mereka diharuskan mengikuti assessment untuk ditentukan apakah masih layak dipekerjakan.
Singkat cerita; Ranita, Silvia, Henny, Hamidah dan beberapa yang lainnya mengikuti assessment melalui beberapa test. Tertulis dan wawancara, diantaranya. Seluruhnya sepuluh dokter dan seorang apoteker yang dinilai melalui test, Agustus lalu.
Ternyata saat hasil assessment kemudian diumumkan, hanya seorang dokter yang dinyatakan lolos dan berhak dipekerjakan. Sembilan dokter dan seorang apoteker gagal. Implikasinya, per-16 Oktober manajemen PTPN 3 memecat mereka. SK pemecatan ditandatangani Direktur Pelaksana Nurhidayat dan Wakil Direktur Bidang SDM Ahmad Gusmar Harahap.
Bagi Ranita Cs sejak itu bumi bagai berhenti berputar.
"Di nama-nama di perusahaan apapun itu, yang namanya assessment adalah proses kenaikan jabatan. Bukan pemecatan atau PHK, ini sangat tidak Adil," tegas Silvia.
Kata Silvia yang sudah menjadi dokter PTPN 3 sejak 2006, kalau tahu ujungnya PHK dia tidak akan mau mengikuti assessment. Dia mau mengikuti karena sebelumnya djamin Serikat Pekerja Perkebunan atau SP Bun PTPN 3 tidak akan ada PHK.
"Ternyata saya dan kawan-kawan dokter lainnya sudah dijebak. Assessment adalah jebakan untuk mencampakkan kami dari PTPN 3," kata Ranita.
Adalah sebuah kesepakatan antara SP Bun dengan manajemen PTPN 3 melalui Lembaga Kerjasama Bipartit yang menjadi alasan pokok kenapa Nurhidayat sebagai pimpinan manajemen memecat Ranita Cs. Kesepakatan tersebut telah didapatkan ke Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri Medan.
Di dalam kesepakatan yang dikukuhkan pada 10 Juli 2017 tersebut sebuah klausul yang menyebutkan bagi karyawan yang tidak lulus seleksi (assessment) maka akan diikutkan ke dalam program pensiun khusus. Dipecat!
"Kami nggak pernah tahu ada kesepakatan yang bunyinya seperti itu. Kalau aku tahu pasti nggak ikut assessment, jelas itu jebakan," kata Ranita.
Apalagi, ujar Silvia, assessment yang dilaksanakan manajemen seperti tindakan akal-akalan. Hanya satu orang yang dinyatakan lolos. Assessment hanyalah siasat licik untuk membuang mereka dari masing-masing pekerjaannya.
"Semua yang ikut test assessment jawabannya didapat dari aku, kunci jawaban ku-share ke kawan-kawan melalui Whatsapp. Kok bisa pula hanya satu orang yang lolos," kata Silvia yang terakhir kali bekerja di poliklinik di kawasan Kantor Direksi PTPN 3 di Jl. Sei Batanghari Medan.
Kini Ranita hanya bisa berharap kepada institusi atau kementerian tempat mereka mengadu. Usianya yang sudah melampaui batas membuatnya tak bisa lagi meningkatkan kwalifikasinya sebagai dokter agar bisa membuka usaha praktik atau klinik demi memenuhi nafkahnya dan keluarganya.
"Semua kami bekerja full untuk PTPN 3. Selama bekerja kami tidak diperbolehkan melakukan aktivitas peningkatan skill sebagai dokter. Tidak boleh melanjutkan studi agar jadi dokter spesislis, tidak boleh ikut pelatihan dan sebagainya. Keterlaluan," ujar Ranita yang seharusnya punya masa kerja 12 tahun lagi di PTPN 3.