Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Jakarta. Dalam hitungan menit, Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutuskan apakah Penghayat Kepercayaan masuk dalam kategori agama sehingga bisa masuk KTP, atau sebaliknya. Mereka sudah ada jauh sebelum agama tiba di Nusantara.
Akibat pembedaan di KTP, banyak yang merasa terdiskriminasi. Seperti kaum adat Bonokeling yang ada di Desa Pakuncen, Kecamatan Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah. Meskipun secara KTP mereka beragama Islam, namun secara keyakinan mereka mengaku adalah Penghayat Keyakinan, yang mau tidak mau harus mengakui agama yang resmi ada di Indonesia.
Mereka berharap, keyakinan nenek leluhur yang sudah ada sejak ratusan tahun tentang keputusan nasib Penghayat Kepercayaan dapat dicantumkan di kolom agama oleh MK dapat diubah.
"Aliran kepercayaan itu kan dulunya bukan agama, Islam kan agama, untuk mempermudah itu masyarakat sekarang sudah terlanjur ditulis di identitas (KTP). Kita hanya bisa berdoa saja mudah mudahan Tuhan Yang Maha Esa bisa melindungi segala sesuatunya, apa yang menjadi prinsip seperti kami kami ini sebagai orang Jawa atas omongan para leluhur. Selanjutnya harus ada titik terang bahwa ada kalimat dari Jawa Mbali Jawa," kata Ketua Pelestari Adat dan Budaya Bonokeling, Sumitro di kediamannya, Selasa (7/11).
Menurut dia, bila nantinya MK memutuskan Penghayat Kepercayaan dapat masuk dalam kolom agama, maka mereka berharap dapat tertulis dalam KTP. Selama ini biasanya untuk Penghayat Kepercayaan dalam kolom agama jika tidak dikosongkan, biasanya ditulis dengan agama yang ada di Indonesia. Maka mau tidak mau mereka harus bisa memahami agama yang ada di kolom KTP tersebut.
"Selanjutnya tinggal nanti sosialisasinya tidak asal catat saja. Kan biasanya pelayan di desa hanya catat saja tidak tahu itu agamanya apa, akhirnya semuanya adalah Islam. Padahal belum tentu itu orang Islam, kadang kadang saat bikin KTP tidak ditanya, dari dulu pun seperti itu sehingga karena kita tidak tahu untuk mengucap kalimat Syahadat saja dituntun, karena di situ kami belum hafal dan belum tahu, karena di KTP Islam ya bisa tidak bisa kita harus bisa baca kalimat Syahadat," ujarnya.
Meskipun mereka mengaku berbeda, namun selama ini tidak pernah terjadi gesekan atau diskriminasi dari masyarakat dan lingkungan sekitar terkait kepercayaan yang mereka anut. Bahkan banyak di antara para pemeluk agama itu penasaran dengan adat istiadat yang dijaga terus oleh Kaum Adat Bonokeling.
Namun begitu, jika keputusan MK ini nantinya memasukkan Penghayat Kepercayaan dalam kolom agama, mereka meyakini jika pepatah leluhur yang mengatakan Jawa Mbalik Jawa benar benar terjadi.
"Orang Indonesia awalnya Jawa, jadi saat agama-agama masuk Indonesia sempat ada perpecahan. Ada pepatah yang menyebut dari Jawa Mbalik Jawa, jadi mungkin ini yang selama ini kami tunggu (diakui)," ucapnya.
Kaum Adat Bonokeling sendiri merupakan masyarakat adat Jawa kuno yang saat ini masih bertahan di tengah arus modernisasi. Salah satu adat kebudayaan kaum Bonokeling adalah unggah unggahan di mana ribuan anak putu Bonokeling seperti wanita berbalut kemben dan selendang putih putih yang melingkari pundaknya dan pria yang menggunakan iket (kain di kepala) serta kain melakukan ritual mendoakan para leluhur dan membersihkan batin mereka saat menjelang bulan Ramadhan di komplek makam Bonokeling.
Dia menjelaskan, sosok Bonokeling konon adalah tokoh spiritual dari Kadipaten Pasir Luhur (sekarang wilayah Karanglewas, Banyumas). Wilayah ini dulu merupakan bagian dari Kerajaan Padjadjaran. Kedatangan Bonokeling ke Pakuncen dalam rangka pembukaan wilayah pertanian.
Oleh karena itu, nuansa agraris menjadi ciri utama tradisi Bonokeling. Tradisi unggah-unggahan awalnya diadakan menjelang musim panen padi. Acara berlangsung lima hari, mulai dari penyambutan tamu, berdoa bersama, ziarah, selamatan, dan pengiringan tamu pulang.
Saat Islam masuk pada abad ke-16, prosesi ini disamakan dengan ritual sadran, tradisi menengok dan membersihkan makam leluhur sebelum bulan puasa. Dalam prosesi ini, para peziarah adalah pengikut Bonokeling dari beberapa desa di Kabupaten Cilacap.
Mereka berjalan tanpa alas kaki dari rumah masing-masing sejauh 30 kilometer-40 kilometer sambil membawa hasil bumi yang akan dimakan bersama seusai ziarah kubur. Ritual jalan kaki atau laku mlampah ini dimaknai sebagai olah rasa, prihatin sebelum memanjatkan doa esok harinya.
Hal lain yang unik dalam tradisi Bonokeling, mereka hanya mengucapkan syahadat, puasa, dan zakat. Namun, mereka tidak mempertentangkan tata cara Islam yang sebenarnya. Mereka lebih memandang, beribadah bukan terletak pada cara menjalankannya, melainkan tujuannya, yakni Yang Maha Hakiki.
Dalam kehidupan sehari-hari, mereka mengharamkan mo limo, yaitu madat, maling (mencuri), madon (main perempuan), mabuk, dan main (judi). Mereka dianjurkan senantiasa menggali pengetahuan untuk hidup di akhirat. Mengamalkan pepatah Jawa kuno urip kui mung mampir ngombe yang mengandung makna bahwa hidup itu hanya sesaat, yang abadi adalah hidup akhirat.
Lalu bagaimana putusan MK nantinya? Kenegarawanan 9 hakim konstitusi ditunggu rakyat Indonesia.(dtc)