Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Jember. Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Teten Masduki menilai obesitas hukum mengurangi daya saing Indonesia. Saat ini ada 62 regulasi yang tersebar di berbagai lembaga.
"Salah satu masalah yang mengurangi daya saing Indonesia dengan negara lain adalah iklim regulasi yang berlebihan," kata Teten Masduki.
Hal itu disampaikan dalam Konferensi Nasional Hukum Tata Negara (KNHTN) 2017 dengan tema 'Penataan Regulasi di Indonesia' di Jember, Sabtu (11/11). Kegiatan ini diselenggarakan oleh Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)-Pusako Universitas Andalas dengan tuan rumah Puskapsi Universitas Jember.
Menurut Teten, hal itu terjadi karena regulasi lahir bukan by needs, tapi karena by program. Karena itu, pemerintahan Jokowi membenahi kultur ini sekaligus membenahi kultur birokrasinya.
"Penataan regulasi dibutuhkan karena kualitas regulasi rendah, jumlahnya banyak, pembuat regulasi tidak paham urgensi sebuah regulasi dan tidak ada institusi yang mengelola regulasi sehingga masing-masing sektor melahirkan regulasi tanpa koordinasi dengan sektor lain yg terkait," ujar Teten.
Langkah pertama, yaitu model penyusunan anggaran menjadi money follow program. Kedua, memangkas regulasi yang ada yang dinilai dapat menghambat kemudahan berbisnis dan investasi.
Sedangkan langkah ketiga, Presiden meminta para menteri melakukan koordinasi antarkementerian sebelum mengeluarkan peraturan baru.
"Untuk kebutuhan doing bisnis, kementerian perekonomian telah mencabut 9 regulasi, 31 direvisi, 49 regulasi baru untuk mewadahi kebijakan baru yg disusun, 35 regulasi digabung menjadi 13 regulasi dan 89 regulasi baru mencabut regulasi lama," papar Teten.
Pada 2017, review juga dilakukan terhadap peraturan menteri di 6 sektor strategis, antara lain sektor ESDM, Lingkungan Hidup dan Kehutanan, jasa keuangan, agraria dan tata ruang.
"E-planning yang dikeluarkan Bappenas menjadi salah satu cara juga untuk mengontrol lahirnya regulasi baru. Upaya ini walau belum sempurna tapi mampu memperbaiki peringkat EODB Indonesia. Dari peringkat 91 memjadi Peringkat 72. Naik 19 peringkat dalam 1 tahun," terang Teten.
Dalam kesempatan tersebut, hakim konstitusi Saldi Isra menyatakan langkah pertama memangkas over regulasi yaitu mencari akar masalah mengapa terjadi obesitas hukum. Menurut Saldi, over regulasi juga bisa dipicu karena sebuah aturan tidak diselesaikan lewat UU.
"Bayangan saya ke depan, jangan terlalu banyak memberi ruang di luar UU, kecuali yang sangat teknis," ujar Saldi.
Menurut mantan Waka MK, Harjono, semua peraturan harus dikembalikan ke tata hukum menurut UUD 1945 dan bisa dilakukan uji formil ke MK. Sebab Pancasila sumber adalah sumber dari segala sumber hukum.
"Kalau perda bertentangan dengan Pancasila, gugat saja ke MK. Karena Pancasilanya ada di MK," ujar Harjono.
Harjono juga menilai perjanjian internasional yang diratifikasi Indonesia, tidak perlu diundangkan. Sebab, perjanjian internasional dibuat lewat forum politik internasional.
"Perjanjian internasional cukup dibuat Keppres saja," sebutnya.
Yang terakhir, masalah menjadi rumit dengan kewenangan hakim yang memiliki kebebasan, tetapi tidak terukur. Seharusnya, kebebasan hakim bisa diukur yaitu dengan putusan hakim sebelumnya untuk menjadi guidence.
"Kebebasan hakim tidak bisa diguidance, hakim bebas. Ini yang menjadi persoalan," ujar Harjono. (dtc)