Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
"Tidak mungkin bisa bersaing dengan siapa saja dari mana saja nun di seberang sana, bila para guru, pendidik di perguruan tinggi, pengambil keputusan di berbagai institusi di negeri ini malas membaca".
Medanbisnisdaily.com-Medan. Di masa rezim orde baru tidak mudah seseorang menyampaikan pendapat secara gamblang di ruang publik. Karenanya banyak yang mensiasati dengan pendekatan dan media yang berbeda. Antara lain menggunakan sastra sebagai “corongnya”.
Namun sekarang ini mengemukakan pendapat telah dijamin negara. Siapa saja boleh mengemukakan pendapatnya di ruang publik.
Begitu bebasnya, sampai kebebasan itu dianggap telah kebablasan. Karenanya, sastra dewasa ini tidak hanya menjadi media komunikasi, namun sebagai alat pembelajaran. Karya sastra harus kritis, terutama dalam konteks berbangsa dan bernegara.
Demikian paparan sastrawan nasional, Yudhistira AN Massardi ketika menjadi pembicara di Literacy Coffee, Jalan Jati II, Medan, Selasa (5/12/2017).
Diskusi yang digagas DeliArt Foundation (DAF) dimoderatori Dini Usman dan didukung oleh Literacy Coffee dan Institute Sumatera itu mengambil tema dan Kesadaran Kritis Berbangsa.
Kegiatan yang berlangsung pada pukul 20.00 WIB itu dihadiri puluhan orang dari berbagai latarbelakang dan usia yang berbeda.
Yudhistira mengatakan, untuk bisa memahami sastra, maka syarat utamanya adalah senang membaca. Sebab ranah sastra berada pada aras yang lebih tinggi.
Penyair yang banyak sajaknya dinyanyikan Franky and Jane ini, mengaitkan sastra sebagai bagian yang tidak terpisah dari semua sisi kehidupan manusia.
“Sastra itu terkait dengan budaya membaca. Seorang sastrawan harus rajin membaca. Dan bila membaca menjadi kebutuhan setiap orang, tak pandang bulu pekerjaannya apa, maka boleh jadi kita mampu menjadi kelompok pemimpin dunia,” kata penulis novel Arjuna Mencari Cinta ini.
“Dengan sastra, kita juga dapat menumbuhkan kesadaran kritis dalam berbangsa dan bernegara. Dan dengan membaca pula kita bisa memperbaiki kondisi bangsa ini. Paling tidak tak menjadi orang yang mudah digiring isu-isu primordial dan SARA,” tambah Yudhistira.
Menurut Yudhistira, tidak mungkin bisa bersaing dengan siapa saja dari mana saja nun di seberang sana, bila para guru, pendidik di perguruan tinggi, pengambil keputusan di berbagai institusi di negeri ini malas membaca.
Tidak berlebihan kalau hasil riset PBB pada 61 negara tentang minat baca, Indonesia berada pada peringkat ke-60.
“Konon pula kita mimpi mengharap sastra punya andil membangun karakter manusia Indonesia? Alamak...jauh kalilah. Bak pepatah Minangkabau begini bunyinya, babi jantan beranak jantan, memakan buah si enau gadis, meloncat ke atas batu, berkesan jejak anaknya, jadi hal yang sangat mustahil terjadi,” terangnya.
Bila membaca menjadi kebutuhan setiap orang, tak pandang bulu pekerjaannya apa, paparnya, maka boleh jadi orang Indonesia mampu menjadi kelompok pemimpin dunia.
“Akan tetapi membaca agaknya suatu pekerjaan yang dianggap buang waktu. Hal ini dampak kemalasan itu demikian terasa sekali sehingga kita mudah digiring oleh isu-isu primordial seumpama SARA,” katanya.