Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com. Bagi orang Batak Toba, terutama mereka yang masih hidup di dalam nilai-nilai budaya, Pinggan Pasu merupakan sebuah pusaka. Pinggan Pasu atau piring raja-raja ini merupakan simbol kebersamaan, kehormatan serta penghormatan kepada nenek moyang.
Karenanya, wajib bagi mereka untuk menjaga, merawat benda ini dengan sebaik-baiknya. Pada momen-momen tertentu barulah Pinggan Pasu digunakan. Misalnya pada saat ritual “memberi makan” nenek moyang mereka.
Menurut berbagai refrensi serta penelusuran, piring besar yang termasuk kategori tembikar ini, sedikitnya ada 3 jenis. Jenis pertama berbentuk piring keramik yang besar dengan berbagai motif ukiran. Konon ia berasal dari daratan China, sekitar abad XVII.
Jenis yang kedua juga berbentuk piring namun masih berbahan dasar tanah liat. Sedangkan yang ketiga, mirip dengan yang kedua tetapi agak lebih cekung dan dilengkapi penyangga sehingga terkesan seperti mangkuk besar.
Pinggan Pasu menjadi populer ketika ia mulai diburu para kolektor barang antik dan paranormal. Bahkan kini sejumlah situs di dunia maya juga telah ikut memasarkannya. Konon sebuah Pinggan Pasu harganya bisa mencapai ratusan sampai miliaran rupiah.
Keistimewaan Pinggan Pasu antara lain karena “piring” ini memiliki sejumlah khasiat antara lain, bisa menawarkan racun, mengandung zat anti basi serta bisa menawarkan air. Namun kenyataannya tidak mudah berbinis Pinggan Pasu. Selain masalah orisinalitas juga nilai-nilai (termasuk mitos) di dalamnya yang masih dipercaya oleh sejumlah orang Batak Toba.
Hal itu dijelaskan salah seorang warga Jalan Jati II, Medan, Batara Siahaan, kepada medanbisnisdaily.com, di Medan, Senin (18/12/2017). Ia mengisahkan pengalamannya ketika pernah diajak berburu barang antik ini.
“Pernah satu kali kami berhasil membeli benda ini dari satu keluarga yang ada di Samosir. Tidak tanggung-tanggung kami harus menukar benda ini dengan satu unit mobil Innova. Karena uang yang kami bawa kurang,” aku Batara.
Dijelaskannya, sebelum transaksi Batara menguji keaslian piring ini. Benar saja, piring ini memang bisa menawarkan air asin jadi tawar. Termasuk menawar racun yang sudah dicampur dalam air. Namun sesampai di Medan ketika benda ini akan dijual kembali ke salah seorang kolektor, khasiat benda ini hilang begitu saja.
Ditambahkan Batara ia pun kembali ke kampung itu untuk menjelaskan keadaan itu. Tak diduga-duga sesampai di kampung itu, ternyata pihak keluarga telah menunggu mereka. Ternyata mereka juga bermaksud meminta kembali Pinggan Pasu itu.
Menurut cerita mereka, sejak Pinggan Pasu itu mereka jual, hidup mereka jadi tidak tenang. Setiap hari terjadi pertengkaran di antara keluarga yang masih satu ompung (kakek) yang ada di kampung itu.
Puncaknya salah seorang dari antara keluarga mereka mengalami kecelakaan saat mengendarai mobil dari hasil barter dengan Pinggan Pasu itu. Karenanya sejumlah orangtua yang ada di kampung itu menyarankan supaya mereka meminta kembali Pinggan Pasu itu dan membuat acara untuk meminta maaf kepada arwah nenek moyangnya.
Beragam cerita yang terdengar seperti mitos itu ditanggapi praktisi budaya Batak Toba, Mangaraja Tamba dari lembaga Spirtualitas dan Kajian Budaya Batak Toba. Dikatakannya, setiap pusaka orang Batak Toba, seperti Pinggan Pasu, hujur (tombak), pedang maupun losung (lumpang) memiliki nilai-nilai kearifan. Nilai-nilai itu biasanya hanya berlaku bagi mereka yang satu ompung (kakek).
“Kalau kita kaji sebenarnya nilai-nilai itu tidak gaib, tetapi supaya keluarga itu tetap ingat dengan leluhur mereka. Juga agar mereka tetap na saripe (satu keturunan). Makanya kalau ada acara-acara tertentu, mereka menggunakan piring ini dan makan bersama dari piring itu,” jelasnya.
Diakui Mangaraja, tidak seharunya pusaka keluarga dijual. Menjual Pinggan Pasu bisa membuat keluarga itu sial. Karena mereka telah menjual martabat keluarganya sendiri, pungkasnya.