Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Jakarta. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan API Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia telah berlaku sejak 1 Januari 2018.
Berlakunya aturan ini membuat seluruh kapal yang menggunakan cantrang dan alat tangkap tak ramah lingkungan lainnya dilarang melaut.
Di Provinsi Jawa Tengah, setidaknya ada lebih dari 3.000 kapal ukuran kurang dari 10 GT yang tak bisa melaut lantaran belum mendapatkan bantuan alat tangkap pengganti dari pemerintah pusat. Sementara untuk sekitar 1.400 kapal cantrang ukuran 10-30 GT di Jawa Tengah, saat ini dipastikan berhenti beroperasi.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah, Lalu M. Syafriadi mengatakan, ada sejumlah efek dari berhenti beroperasinya ribuan kapal cantrang ini. Salah satunya adalah operasional pabrik surimi yang terpaksa berhenti karena sumber bahan baku surimi yang selama ini diandalkan dari hasil tangkapan cantrang sudah tak ada lagi.
Surimi merupakan daging ikan yang dilumatkan, yang menjadi bahan baku untuk produk-produk olahan ikan seperti bakso, crabstick dan tempura.
"Yang terdampak biasanya industri surimi. Di Jawa Tengah, ada 16 pabrik surimi yang terdampak," katanya di Jakarta, Kamis (4/1).
Selain itu, ribuan Anak Buah Kapal (ABK) diyakini juga terdampak lantaran kapal-kapal cantrang yang biasanya dipakai melaut kini tak bisa digunakan lagi.
"Kalau 1 kapal (10-30 GT) isinya 20, hitung saja, ada berapa nelayan dan ABK yang kehilangan pekerjaan. Jadi industri ikutannya juga mandek," ucapnya.
Saat dihubungi terpisah, Direktur PT Holi Mina Jaya; sebuah perusahaan ekspor Surimi di Rembang, Jawa Tengah, Tanto Hermawan mengakui hal tersebut.
Pabrik surimi dengan kapasitas pengolahan ikan 150 ton per hari ini kini sudah berhenti beroperasi lantaran bahan baku yang biasa didapat dari hasil tangkapan cantrang tak lagi ada.
"Berhenti. Berhenti semua. Enggak ada (bahan baku produksi). Sejak akhir bulan Desember, setelah selesai, berhenti semua. Bisa dilihat ke TPI Juana, TPI rembang. Posisinya kosong semua, enggak ada bongkar ikan," ucapnya.
Dengan situasi itu, Tanto mengatakan, pihaknya akan mengambil langkah untuk menjual seluruh pabrik surimi yang ada di Indonesia, kemudian pindah ke negara lain untuk melakukan usaha yang sama.
Sebab, mesin-mesin produksi yang ada tak memungkinkan pihaknya untuk beralih ke bisnis pengolahan perikanan yang lain.
"Kalau satu-satunya jalan, mungkin kita harus pindah ke luar negeri, ke India, Vietnam. Yang lebih welcome lah. Pabrik yang di sini dijual. Karena enggak bisa ganti olahan lain, karena mesinnya khusus untuk buat Surimi," papar dia.
Tanto sendiri menolak untuk mengambil opsi impor bahan baku karena biaya produksi lewat ikan yang diimpor dirasa terlalu mahal sehingga tak sesuai dengan hitung-hitungan bisnis Surimi. Opsi impor bahan baku ini sebelumnya pernah dikemukakan oleh KKP untuk menjaga keberlangsungan produksi pabrik Surimi.
"Kita konsultasi terus dengan beberapa perusahaan, dan kami ingin mendengar sebetulnya, opsinya apa. Karena di negara lain, ikan yang digunakan itu bermacam-macam. Bukan hanya spesifik ikan-ikan itu saja (dari cantrang)," ujar Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) Nilanto Perbowo beberapa waktu lalu.
Namun, hingga saat ini pihak dari KKP belum ada yang bisa kembali dikonfirmasi mengenai wacana ini dan tindak lanjut dengan rencana pindahnya sejumlah pabrik surimi yang ada di Indonesia.
PT Holi Mina Jaya sendiri memiliki 6 buah pabrik Surimi yang tersebar di Rembang, Kupang, Ambon dan Sorong dengan total investasi lebih dari Rp 200 miliar secara keseluruhan. Usaha ini sudah dimulai sejak 10 tahun yang lalu, dan saat ini memiliki total karyawan sekitar 1.200 orang.(dtf)