Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Menyadap nira atau dalam bahasa Batak Toba disebut maragat adalah salah satu pekerjaan yang tidak sembarangan bisa dilakukan. Hingga kini aktivitas itu masih dilingkupi sejumlah ritus yang harus diketahui dan dipraktekkan oleh setiap paragat (sebutan untuk orang yang maragat). Jika tidak, jangankan untuk mendapatkan hasil, syukur-syukur paragat tidak celaka.
Secara umum tuak bisa didapat dari pohon kelapa dan nila (aren). Kedua-duanya oleh orang Batak Toba sering disebut bagot. Bagot merupakan simbol buah dada dalam masyarakat Batak Toba. Dalam kearifan budaya orang Batak Toba, pohon nira dan sejenisnya adalah jelmaan seorang dewi yang seluruh bagian darinya bermanfaat bagi manusia.
Demikian diceritakan Jamalum Gultom (60) mantan seorang paragat kepada medanbisnisdaily.com, Sabtu (6/1/2018). Selama kurang lebih 30 tahun, Jamalum yang tinggal di Pasar 12, Marindal II, Patumbak ini, berprofesi sebagai paragat. Paragatannya ada di beberapa tempat. Antara lain Kampung Karo Patumbak, Ujung Serdang dan Tanjung Morawa. Seiring usianya yang sudah tua, ia pun menyerahkan tanggung jawab maragat itu kepada anaknya.
Dikisahkannya, menjalani profesi sebagai paragat semula tidak pernah dibayangkannya. Ia sempat berprofesi sebagai parmahan (peternak). Namun tidak bernasib. Ternaknya sering mati. Karena kebutuhan keluarga terus mendesak ia pun berganti profesi. Ia memberanikan diri menjumpai mertuanya yang juga seorang paragat. Singkatnya ia diberi 5 pokok kelapa untuk diusahakan.
“Bertahun-tahun kami hidup dari tuak. Dalam setahun lima pokok yang dikasih mertuaku kutambah 7 pokok lagi yang kusewa. Sekarang jumlahnya sudah 35 pokok. Kuingat kata mertuaku kalau mau maragat itu jangan marungut-ungut (mengerutu). Harus happy kita. Kalau mau diagat harus kita rayu dulu supaya banyak airnya. Kalau mertuaku sambil nyanyi dia maragat; ‘Boru Sorbajati siboru nauli, Boru na so ra jadi na uli diagati. Itu lagunya,” kisah Jamalum.
“Air bagot itu ibaratnya susu dari seorang ibu. Susu itu tidak bisa keluar kalau hatinya lagi bersedih. Supaya dia jangan sedih, kitapun jangan sedih. Kita rayu dia, kita elus-elus. Digoyang-goyang,” tambahnya.
Jamalum melanjutkan, biasanya setiap paragat punya ritus atau mantra masing-masing kalau sedang maragat. Selain supaya tidak jatuh, juga terhindar dari ancaman lainnya. Seperti gigitan serangga, ular atau tertimpa pelepah.
“Memang kayak tak masuk akal, tapi sudah banyak buktinya. Sudah 3 kawanku yang meninggal karena jatuh. Macam-macam. Ada yang terkejut karena ular. Ada yang disambar petir. Ada yang digigit semut. Kalau kami bilang, pikirannya kotor waktu maragat. Atau pas manjat dia merepet-repet,” imbuhnya.
Kearifan Budaya
Jika kita lihat hampir seluruh daerah di Indonesia mempunyai legenda tersendiri tentang pohon nira maupun pohon kelapa. Ini membuktikan masing-masing daerah memiliki keyakinan tersendiri akan cerita itu.
"Itu bukan dongeng. Ada logikanya," kata salah seorang sarjana pertanian dari USU, Adi Novendi, kepada medanbisnisdaily.com.
"Waktu kuliah di jurusan pemuliaan tanaman, itulah yang diajarkan kepada kami. Namanya juga memuliakan tanaman berarti harus menghormatinya. Pada prinsipnya setiap makhluk hidup itu harus disayangi. Hewan maupun tumbuhan. Tapi karena kebutuhan manusia, hewan dan tumbuhan itu yang menjadi korban untuk jadi makanan manusia. Makanya kalau kita mau menanam atau memanen sayuran misalnya, harus ada ‘cakap-cakapnya’. Kalau pas nanam didoakan. Didengarkan musik. Kalau pas panen harus minta maaf,” katanya.
Itulah yang dilakukan di Jepang. Mereka bisa bertani padahal lahannya sempit. Mereka memperlakukan tanaman seperti manusia. Dikasih musik dan dinyanyi-nyikan. Mereka bisa menghasilkan labu raksasa hanya dengan sistem tanam hidroponik.
"Sbenarnya pemahaman itu sudah lebih dulu dilakukan nenek moyang kita lewat cerita-cerita para paragat. Bisa kita bayangkan maragat itu kan berarti memotong bagian dari tandan yang harusnya jadi buah. Rasanya pasti sakit. Apalagi yang disayat itu bagian yang sama. Ibaratnya luka itu mau sembuh disayat lagi. Luka lagi. Jadi kalau kami sebenarnya melihat tuak itu sebagai air susu. Tapi air mata pohon itu. Bukan hanya tuak. Yang paling sakit pohon karet. Tubuhnya disayat-sayat terus. Tapi itulah namanya rantai makanan. Harus saling hormat menghormati,” tuturnya.
Adi menambahkan, sangat wajar jika seorang paragat menjalankan ritus-ritus tertentu sebelum maragat. Itu hukum alam. Bukan klenik. Agama saja pun mengajarkan kalau seseorang mau menyembelih hewan harus berdoa dulu.
Cara manusia memperlakukan sesama makhluk hidup telah lama diajarkan nenek moyang dalam berbagai kearifan budaya. Salah satunya bagi penyadap (paragat).