Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Di Jawa, tanah kelahirannya, hal lazim bila pertunjukan wayang kulit bisa berlangsung semalam suntuk. Bagi audiensnya, pertunjukan itu tidak sekadar pagelaran seni, tetapi juga sebuah pesta rakyat. Soalnya bila pertunjukan itu berlangsung, apalagi di panggung terbuka, masyarakat di sekitar juga ikut merasakan dampaknya. Dari pedagang sampai petugas parkir. Sudah terhibur dapat rezeki tambahan pula.
Sayang, kondisinya masih berbeda dengan yang di Medan. Meski penontonnya sama (umumnya masyarakat Jawa), pertunjukan wayang kulit itu belum bisa berlangsung “semalam suntuk”. Tiga jam pertama, penonton biasanya sudah mulai bubar satu persatu.
Maka, di Medan, pertunjukan wayang kulit tak pernah utuh. Selalu lakon-lakon pendek yang dimainkan, dan itupun didominasi oleh "goro-goro", yakni penampilan para punakawan. Dalam banyak kasus, pertunjukan wayang kulit malah disisipi musik campursari dan lawakan. Tak murni lagi pertunjukan wayang kulit.
?Kenapa? Karena penonton mudah bosan," kata budayawan yang juga kolumnis budaya di salah satu surat kabar di Medan, Sugeng Satya Dharma kepada medanbisnisdaily.com, Sabtu (6/1/2018).
Menurut Sugeng, ada dua hal yang menyebabkan hal itu terjadi. Pertama, karena pertunjukan wayang kulit umumnya pakai bahasa Jawa halus (jawa kromo) dan kebanyakan penonton tak mengerti. Kedua, karena kebanyakan para dalang wayang kulit di daerah ini sangat kaku berpegang pada pakem, sehingga tak mampu melakukan inovasi dengan keterampilan mendalang mereka.
“Para dalang di Medan masih terlalu kaku. Mereka tidak seinovatif dalang di Jawa. Kalau di Jawa, tema-temanya bisa beragam. Ada kritik, sentilan tapi tetap menghibur,” katanya.
Dari penelusuran Sugeng, ada ratusan paguyuban seni tradisional Jawa di Sumut, termasuk wayang kulit. Di Deliserdang ada Krido Manunggal Budoyo yang anggotanya mencapai hampir seratus sanggar seni. Dan semuanya terdaftar di Disporabudpar Deliserdang. Di Medan juga ada. Di langkat. Di Siantar. Bahkan Paguyuban Seniman Jawa di Siantar telah memproduksi wayang kulit dan hasilnya dikirim ke berbagai daerah, termasuk ke Jawa.
Meski eksis tetapi kelompok-kelompok seni tradisi Jawa ini belum bisa menjadikan kesenian itu sebagai sumber ekonomi mereka. Mereka bertahan bukan karena laris manis diundang manggung, tapi lebih karena dedikasi kepada seni tradisi leluhurnya.
Di Medan dan Sumut pada umumnya, selain wayang kulit, ada juga grup Ketoprak Dor, Reog, Kuda Lumping dan lain-lain. Umumnya para seniman tradisi ini hidup bukan dari hasil berkeseniannya, tapi dari pekerjaan sehari-hari yang mereka geluti, seperti menjadi buruh pabrik, penarik beca, tukang, pedagang keliling dan kerja kasar lainnya.
Mereka tak bisa hidup dari mengandarlkan hasil berkeseniannya. Untuk grup wayang kulit, misalnya, dengan seorang dalang, para pesinden, para nayaga (pemain gamelan), dan petugas lainnya, yang jumlahnya mencapai puluhan orang paling banter mereka dibayar hanya Rp 50 juta-Rp 75 juta sekali manggung. Itupun kalau ada hari-hari besar seperti Syuroan atau ruwatan bumi. Kalau tak ada hari-hari besar itu, mereka sepi job bahkan hingga setahun kemudian.
“Bayangkan, Rp 75 juta itu dibagi puluhan orang untuk setahun. Beda dengan dulu. Dulu orang hajatan, mengawinkan atau sunatan, masih mau mengundang pertunjukan wayang kulit. Sekarang orang lebih memilih pertunjukan kibord. Selain lebih praktis, menurut mereka lebih murah,” akunya.
Hal yang sama juga diakui seniman Jawa yang ada di Medan lainnya, Yono USU belum lama ini. Pria yang sempat menjadi dosen di USU ini mengakui jika kesejahteraan seniman tradisi Jawa memang belum memadai jika hanya mengandalkan pertunjukan seni saja.
"Mungkin itu juga yang membuat mereka sulit untuk total dan mengasah kemampuan seninya terus menerus. Karena mereka juga harus nyambi pekerjaan lain untuk menutupi kebutuhannya sehari-hari," katanya.