Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Konsepsi perhutanan sosial yang disebut-sebut bagian dari nawacita pemerintahan Jokowi, dalam beberapa waktu ini mulai marak dibicarakan. Dengan konsep perhutanan sosial, pemanfaatan hutan lindung (negara) oleh masyarakat itu tidak lagi ilegal. Untuk itu diperlukan data-data valid yang menjelaskan ambang batas hutan lindung itu, sehingga masyarakat memahami batas wilayah yang bisa ia garap. Sejalan dengan itu kasus klaim atas areal hutan terutama oleh swasta, harus segera dituntaskan .
"Perhutanan sosial itu patut diterapkan di semua daerah di Sumut. Dengan catatan masyarakat harus diberi pemahaman bahwa mereka hanya berhak mengelola, sedangkan status hukumnya tetap hutan lindung," kata anggota DPRD Sumut dapil Siantar-Simalungun, Richard Sidabutar kepada medanbisnisdaily.com, Minggu (28/1/2018).
Menurut Richard, hak kelola itu idealnya 35 tahun, dengan catatan masyarakat harus tetap melakukan perpanjangan per lima tahun sekali.
“Sumatera Utara dapat mengadopsi kebijakan yang sudah diterapkan di daerah lain. Hutan lindung dapat dimanfaatkan rakyat secara legal. Ini akan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat,” kata politisi Partai Gerindra ini.
Pandangan berbeda disampaikan aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Abdon Nababan. Menurutnya, yang paling baik adalah mengembalikan areal hutan yang diambil pemerintah maupun swasta kepada pemiliknya aslinya.
Ditambahkan Abdon, perhutanan sosial berbeda dengan pengakuan hutan adat. Perhutanan sosial sekadar memberikan akses bagi penduduk lokal untuk memanfaatkan hutan negara. Namun sebenarnya pengakuan atas kepemilikan hutan adat itulah yang diperlukan masyarakat.
“Pengakuan hutan adat dengan cara mengembalikannya ke komunitas adat itulah yang paling baik. Pemerintah harus mengembalikan hutan adat itu sesuai dengan pemilik awalnya,” ujar Abdon.