Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Samosir. Diolah secara manual oleh Olo Silalahi (50) warga Desa Boho, Kecamatan Sianjur Mula-mula, Kabupaten Samosir, kopi robusta yang tumbuh di kaki Gunung Pusuk Buhit, sempat top dan pernah dipasarkan hingga ke Papua. Namun tiga bulan terakhir, produksi kopi bubuk olahan mereka mengalami penurunan. Hal itu dikarenakan faktor alam yang kurang bersahabat, harga pasar bahan baku tidak menentu, dan kondisinya yang sakit, dan divonis dokter mengalami gangguan saraf ketujuh.
"Sudah hampir 3 bulan lebih hasil olahan kami tidak maksimal. Itu karena saya jatuh sakit, sehingga kini, semua dikerjakan sendiri oleh sang istri," tutur Olo ketika disambangi medanbisnisdaily.com, Senin (29/1/2018) di kediaman mereka di Desa Boho, tepatnya di kaki Gunung Pusuk Buhit.
"Semasa sehat, rata-rata hasil produksi kopi bubuk kita mencapai 4 kaleng per minggu, atau sekitar 50 kilogram. Kendala lain, sulitnya mendapatkan bahan baku kopi robusta karena kemarau, sehingga hasil panen sedikit. Kemudian, harga bahan baku tidak menetap," lanjutnya.
Dijelaskannya, harga kopi robusta kering bervariasi yang diduga persaingan para agen. Agen menentukan harga sesuka hati sesuai kemampuan. Harga yang ditawarkan per kilogram, mulai dari Rp. 25.000-Rp. 28.000, dan terakhir mencapai Rp 35.000. Hal itu menyebabkan ketersediaan bahan baku mereka sering minim.
Selain itu, sebahagian besar masyarakat petani kopi di kaki Pusuk Buhit sudah beralih ke penanaman kopi ateng. Sehingga pokok kopi robusta tinggal sedikit. Hal itu dipicu anjloknya harga kopi robusta puluhan tahun lalu.
"Puluhan tahun lalu, harga kopi robusta benar-benar anjlok. Sehingga, banyak masyarakat petani kopi robusta beralih ke kopi ateng, yang harganya jauh lebih stabil ketika itu, bahkan sampai saat ini," terang A. Penri.
Sejak awal A. Penri Silalahi bersama istri (Br. Manik) memproduksi kopi robusta menjadi kopi bubuk, selain di Kabupaten Samosir, hasilnya telah didistribusikan ke Aek Kanopan, Parbuluan, bahkan ke Papua.
"Kopi bubuk kita sudah sampai ke Aek Kanopan, Parbuluan, bahkan ke Papua. Itu karena bahan baku kita murni kopi robusta. Kalaupun ada tambahan lain, paling kulit manis, itupun hanya sedikit. Masalah kualitas rasa, tergantung pada lamanya kopi di sangrai," kata Olo.
Rencananya, mereka akan kembali memaksimalkan hasil olahan kopi robusta menjadi kopi bubuk. Dan saat ini sedang merancang alat sangrai dengan tenaga dinamo listrik untuk mempercepat proses pengolahan.
"Kita ada rencana untuk kembali memaksimalkan hasil olahan. Karena beberapa bulan lagi, kopi robusta yang masih ada kita perkirakan buahnya sesuai harapan. Alat sangrai sedang kita rancang dengan kapasitas lebih besar, serta menggunakan dinamo listrik untuk mempercepat pengolahan. Namun sampai saat ini belum selesai, karena biaya. Dimana alat sangrai yang ada saat ini, masih manual dengan kapasitas 14 liter," ujar Olo.
Dia menyebutkan, biaya yang dibutuhkan untuk melengkapi alat pengolahan mulai dari alat kupas, penampungan, mesin penggilingan, hingga alat sangrai dan gedung tempat pengolahan, mencapai Rp 25 juta. Dan sampai saat ini, usaha mereka belum pernah dilirik oleh pemerintah daerah.