Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Sastrawan Sumatera Utara masih kesulitan menciptakan panggung sastra etnopuitika. Salah satunya karena publik genre puisi ini masih terbatas pada kelompok-kelompok etnis pendukungnya. Selain itu, masalah komunikasi juga menjadi kendala.
Hal itu mengemuka dalam diskusi sastra yang digelar di Balai Bahasa Sumatera Utara (BBSU), Jalan Kolam Ujung No 7, Medan Estate, Jumat (9/2/2018).
"Etnopuitika itu sudah ada di berbagai daerah di Indonesia. Di Sibolga ada sikambang dan itu sudah ada pakem-pakemnya," ujar salah seorang peserta diskusi, Fadmin Prihatin Malau.
Pendapat Fadmin dipertajam kritikus sastra Mihar Harahap. Etno itu sendiri adalah puitika. Memang ada pakemnya, tetapi tidak tertutup kemungkinan untuk dikembangkan. Namun tentu harus memenuhi sejumlah syarat," kata Mihar.
Etnopuitika bukan hal yang baru, namun format untuk pentasnya perlu dipikirkan. Ini terkait dengan komunikasi ke publik, kata Mihar.
Hal sama dikeluhkan penulis Marina Novianti T. Bolon. Ketika saya mementaskan puisi Batak saya sadar bahwa audiens di luar etnis Batak, akan sulit mencernanya. Karenanya saya menggunakan media bantu seperti seruling. Karena seruling termasuk instrumen
yang sering ditampilkan oleh musisi Batak.
Memang perlu ada format yang tepat untuk mengangkat etnopuitika ke panggung yang lebih luas oleh sastrawan Sumut. Tapi jangan sampai di tangan penyair, entopuitika itu justru menjadi kehilangan nilai-nilai. Mengingat penyair belum tentu memahami wilayah etnogrfi, sekalipun mungkin wilayah etnisitas itu merupakan kelokalan si penyair itu sendiri.
Narasumber yang tampil adalah sastrawan Porman Wilson dan peneliti dari BBSU, Ok Sahril dengan moderator Suyadi Dan dan Nurelide, M Hum dan dibuka oleh Kepala BBSU, Dr T. Syarfina M Hum.