Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta. Elite PSI yang bertamu ke Istana untuk bertemu Presiden Joko Widodo menuai kontroversi. Tapi secara UU, tidak ada yang melarang pertemuan tersebut.
"UUD 1945 yang menganut sistem pemerintahan Presidensial telah menempatkan Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang memiliki tanggung jawab besar untuk mewujudkan kesejahteraan, ketertiban umum dan tegaknya demokrasi serta negara hukum," kata ahli hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono dalam siaran persnya, Selasa (6/3/2018).
Untuk mewujudkan tugas tersebut, Presiden wajib menjalin komunikasi dengan suprastuktur politik dalam negara maupun dnegan infrastruktur politik dalam negara .
"Mengenai siapa saja yang boleh dan tidak boleh menjadi tamu Presiden di Istana Negara memang tidak terdapat peraturan perundang-undangan yang mengaturnya," cetus Direktur Puskapsi Universitas Jember itu.
Sebab, mustahil membuat aturan rinci mengenai siapa-siapa yang dapat menjadi tamu Presiden karena hal itu akan membatasi ruang gerak Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Satu-satunya yang bisa dijadikan patokan hukum oleh Presiden dalam memilih dan memilah siapa yang sebaiknya ditemui dan tidak ditemui hanyalah rambu-rambu dalam Pasal 7A UUD 1945. Yaitu tindakan presiden dalam menerima tamu tersebut jangan sampai masuk kategori sebagai perbuatan tercela yaitu perbuatan yang dapat merendahkan martabat presiden.
"Praktik Presiden menerima kunjungan atau melakukan pertemuan dengan pimpinan partai politik di Istana Negara merupakan hal lumrah dan bukan hanya di era Presiden Jokow Widodo saja, pada era Presiden sebelumnya hal inipun telah dilakukan. Seperti halnya pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga beberapa kali menerima kunjungan pimpinan partai politik di Istana Negara," ujarnya.
Peraturan perundang-undangan Indonesia juga tidak melarang Presiden menerima kunjungan pribadi diluar kunjungan resmi atau kunjungan kerja, bahkan untuk tamu asing sekalipun. Pasal 33 ayat 3 UU Nomor 9 tahun 2010 tentang Keprotokolan mengatur kunjungan tamu asing kepada Presiden dapat berupa:
1. kunjungan kenegaraan.
2. kunjungan resmi.
3. kunjungan kerja.
4. kunjungan pribadi.
"Jika untuk tamu asing saja Presiden dapat menerima kunjungan Pribadi apalagi untuk tamu yang merupakan rakyatnya sendiri seperti kelompok masyarakat seperti partai politik," ujarnya.
Selain itu, tindakan melaporkan Presiden kepada Ombudsman RI juga dinilai tidak tepat. Sebab ruang lingkup kerja Ombudsman adalah mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan.
"Dengan logika UU Ombudman dan UU Pelayanan Publik ini maka jelas tindakan menerima kunjungan Partai Politik bukanlah tindakan Presiden yang sedang melakukan pelayanan publik yang apabila pelayanan publik tersebut tidak memuaskan maka dapat berujung dilaporkan ke Ombudsman," pungkas Bayu. (dtc)