Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Salomo Fedricho Purba atau yang lebih dikenal dengan nama Fedricho Purba adalah pelukis muda dari Sumatera Utara yang layak dipertimbangkan di kalangan pelukis tanah air. Karya-karyanya cukup unik dan berani. Ia tidak tunduk pada pakem dan aliran seni lukis yang ada. Kadang lukisannya realis, surealis, abstrak, kontemporer dan penggabungannya.
Dalam hal tema, ia tidak terbatas. Namun dari semua tema lukisannya, yang paling menonjol adalah saat ia mempermainkan idiom-idiom budaya Batak Toba sebagai cara ia mengungkapkan dua dimensi sekaligus ; tradisi dan modernitas.
Idiom-idiom budaya itu kadang ia plesetkan menjadi sebuah objek baru, namun tetap meninggalkan tanda yang masih bisa dikenali. Hampir semua lukisan yang berangkat dari idiom budaya itu berisikan kritik satirnya terhadap modernitas.
Misalnya pada lukisan dua tangan terpotong yang saling memberi dan menerima bibit pohon. Bagi orang Batak Toba makna lukisan itu dapat dengan mudah ditangkap. Bibit pohon itu adalah pohon hayat orang Batak Toba yang disebut Hariara sundung di langit.
Kedua tangan terpotong yang saling memberi dan menerima itu adalah kritik betapa kini orang Batak Toba semakin individualis dan semakin jauh tercerabut dari akarnya.
"Itu kritik saya. Sekarang ini tidak ada lagi kebersamaan. Nilai-nilai budaya tinggal cerita saja," katanya pada medanbisnisdsily.com, Kamis (22/3/2018).
Mahasiswa seni rupa Universitas Negeri Medan (Unimed) ini mengaku tertarik dengan idiom-idiom budaya karena selain artistik juga sarat nilai. Ia menjelaskan ketika melukis tema-tema itu, sebenarnya ia sambil belajar memahami kebudayaan Batak Toba yang sesungguhnya.
"Tidak mungkin saya melukis 'gaja dompak' kalau tidak tahu artinya. Setelah saya tahu artinya baru saya berani 'mengutak-atik' untuk menghidupkan nilainya sesuai dengan konteks sekarang," lanjutnya.
Lukisan lain yang tak kalah nyentrik adalah lukisan kepala patung Sigale-gale yang berada di atas bonggol kayu. Bonggol kayu itu seolah-olah tubuh Sigale-gale dengan darah di permukaannya.
Masih dengan kritiknya yang satir, pada lukisannya yang lain, ia melukis tugu (monumen) marga orang Batak Toba yang besar, gagah dan mewah. Sedangkan di sebelah tugu itu ada rumah adat Batak Toba yang kecil dan mungil.
Dengan lukisan itu, Fedricho mengkritik orang Batak Toba yang suka pamer, senang dipuji, gila hormat yang demi itu melupakan nilai-nilai kebersahajaan dan sanggup mengabaikan kebersamaan.
Banyak lagi lukisannya yang unik. Beberapa di antaranya telah diganjar penghargaan. Salah satunya berjudul "Penjaga Kewarasan". Lukisan itu terpilih sebagai salah satu lukisan yang ikut dipamerkan di Simpul Sumatera Biennale di Jambi 2016 lalu. Lukisan itu satu-satunya lukisan yang terpilih dari Sumatera Utara. Lukisan itu pun sempat ditawar seharga Rp 7 juta namun ia tolak.
Pada pertengahan Mei 2017 lalu, Fedricho berpameran tunggal di Taman Budaya Sumut (TBSU). Kurang lebih 30 puluh karyanya berupa lukisan dan patung ia pamerkan. Ia memberi judul pameran itu "Ulubalang". Lewat pameran itu Fedricho menghembuskan nafas perlawanan terhadap eksploitasi Danau Toba.
Kini selain mengeksplorasi budaya Batak Toba ke dalam lukisannya, penyuka kopi susu kelahiran 22 November 1922 ini, sedang mengembangkan lukisan tiga dimensi. Medianya tidak hanya kanvas, namun juga tembok-tembok. Ia pun kerap diminta melukis tembok resto, ruang publik dan sebagainya.