Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Dari covernya saja orang-orang sudah dibuat penasaran. Album musik ini diberi judul "Hurje". Hurje di kalangan masyarakat Batak Toba adalah seruan di kampung-kampung untuk memanggil hewan ternak (babi) agar masuk kandang.
Di bawah judul itu ada kalimat tambahan yang berbunyi, "maka merapallah Zarahustra". Seperti kita tahu Zarahustra adalah tokoh rekaan filsuf terbesar di abad modern, Friedrich Nietzsche, dalam bukunya Also Sprach Zarahustra yang menyebut Tuhan telah Mati!
Gambar cover album itu juga nyentrik. Dua orang bertopeng salah satunya mengenakan t-shirt bertuliskan "Pangalo" (bahasa Batak Toba) yang berarti orang yang melawan.
Keunikan lain ada pada sejumlah judul lagu yang ada di album itu. Dari 18 lagu ada di antaranya yang cukup menyolok, antara lain, "Anthem" "Kami adalah Tuhan" "Majenun" "Ribak Otorita"
Album musik ini adalah karya Suparto Lumban Raja, salah seorang warga yang tinggal di Siallagan, Kabupaten Samosir. Album ini baru saja diproduksi (2018) di sebuah studio musik di Bandung.
Warna musik di album ini sangat beragam. Mulai dari hip hop, regae, balada, country, rock dan rock alternatif yang sesekali bercampur dengan nuansa tradisi. Mendengarnya, telinga serasa disuguhkan antologi aliran-aliran musik yang ada.
Lirik-liriknya juga campur sari dan sangat provokatif. Dalam beberapa lagu, liriknya menggunakan bahasa Indonesia bercampur bahasa Batak Toba.
Dalam lagu "Ribak Otorita" tertulis liriknya //Kami muak menjadi bidak yang diperbudak, dibajak sampai ke otak dan dipalak/kami Batak siap menyalak mengayuh kapak menolak menjual tambak kepada para tengkulak/persetan agenda otorita pariwisata/Danau Toba bukan milik negara dan pemerintah/tanah ini tak punya raja tak punya marga/tetapi milik bersama dari Oppung dan Debata... (dilanjutkan dengan reffrein emmatutu, horas!)
Pada lagu berjudul "Pemodal" liriknya lebih berani lagi. Di lagu itu bahkan ada ungkapan yang secara umum dianggap tabu. Lagu itu berisikan protes terhadap kaum pemodal yang kini menguasai Tano Batak.
Suparto Lumban Raja kepada medanbisnisdaily.com, Senin (26/3/2018) mengakui karya itu sebagai kritik sosial, mulai dari pemetaan moral masyarakat saat ini hingga pembahasan mengenai kekerasan negara pada gerakan-gerakan akar rumput di berbagai daerah.
"Latar belakang mengapa aku menggunakan "Hurje!" sebagai judul sebenarnya sederhana. Kebetulan sekarang aku tinggal di kampung, tepatnya di Samosir. Dalam kebiasaan orang Batak Toba istilah "Hurje!" itu digunakan untuk memanggil ternak-ternak agar segera masuk kandang," akunya.
Bila dihubungkan dengan Filsafat "Adimanusia" karya F Nietzsche, maka Pangalo! menganggap dirinya sebagai sosok Adimanusia yang sedang memanggil manusia untuk mendengarkan albumnya," jelasnya.
Ditambahkan Suparto, album ini adalah kumpulan single "Pangalo" yang ia kerjakan sepanjang 2017. Proses kreatifnya sangat acak, benar-benar tak terkonsep sejak awal.
"Pertama aku buat beat/musiknya, kemudian terus lirik dan langsung take vokal. Setiap lagu selesai dalam satu tarikan nafas, artinya proses pembuatannya hanya satu hari saja tanpa revisi sama sekali. Kebanyakan inspirasi muncul dari pengalaman-pengalaman pribadi. Hanya saja pengalaman-pengalaman itu kubungkus dengan sentuhan filsafat dan literasi," akhirnya.