Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Salah satu kuliner peninggalan perang dari Aceh adalah ikan "kayu". Disebut ikan "kayu" karena teksturnya yang keras, kering dan bentuknya nyaris seperti kayu. Menurut sejarahnya, ikan "kayu" memang diolah sedemikian rupa sebagai ikan yang bisa dimakan dalam jangka waktu lama. Ikan "kayu" adalah ikan perang untuk para pejuang dan masyarakat Aceh di masa penjajahan.
Cut Marni, salah seorang alumni Pendidikan Tata Boga Unimed 2010, menjelaskan, ikan kayu adalah ikan tongkol yang diolah dengan proses yang cukup lama. Dibutuhkan waktu 3 hingga 4 hari untuk menghasilkan ikan kayu yang berkualitas dan tahan lama.
Kepada medanbisnisdaily.com, Kamis (5/4/2018) Marni menjelaskan cara pembuatan ikan para pejuang ini.
"Pertama ikan tongkol ditaburi garam kemudian direbus. Setelah itu tulang-tulangnya dibuang dan dijemur. Setelah agak kering daging ikan dirajang-rajang dan dijemur lagi," kata Marni yang bulan Februari 2018 lalu, baru membuka rumah makan khas Aceh di Unimed ini.
Tinggal milih mau dimasak seperti apa, tambahnya. Tapi biasanya orang Aceh suka makan yang pedas-pedas, jelas Marni. Marni sendiri mengaku tertarik membuat olahan ikan ini karena mendengar cerita-cerita dari orangtuanya.
Kata mereka ikan ini bisa tahan sampai dua tahun. Dulu ketika orang sedang berperang di hutan-hutan, ikan inilah yang dibawa. Pas mau makan, ikan tinggal dipanaskan dan dikasih cabai. "Mungkin karena suasana perang, jadi tambah seru cerita tentang ikan ini," jelas Marni.
Tambahnya, kalau di Aceh ikan ini banyak ditemui di rumah makan dan telah menjadi oleh-oleh kuliner dari Aceh. Dijual per bungkus. Akhir tahun 2017 lalu, waktu aku pulang ke Aceh harganya dijual Rp 25 ribu untuk ukuran 100 gram, katanya.
Salah seorang warga Medan yang juga menekuni olahan ikan "kayu", Mahbubah Lubis menjelaskan ikan "kayu" bagi orang Aceh, tidak sekedar kuliner, namun juga aset sejarah dan budaya yang harus dilestarikan.
Kadang karena faktor ini jugalah yang membuat ikan "kayu" di Medan mulai dicari, khususnya oleh orang Aceh yang di Medan. Mahbubah yang mengaku baru merintis usaha ini secara online, berharap nilai-nilai sejarah kuliner ini tetap diingat oleh generasi muda Aceh khususnya yang merantau.