Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Nasib para pemusik Batak di daerah ini masih sangat sulit berkembang. Apalagi mereka yang spesialis manggung di pesta-pesta adat orang Batak.
Hal itu disebabkan banyak hal. Salah satunya karena standar honor yang berlaku tidak disesuaikan dengan nilai tukar mata uang. Bahkan besarnya honor 15 tahun lalu cenderung masih sama dengan saat ini.
Misalnya, sekali order di pesta perkawinan di wisma, rata-rata grup mematok Rp 1,3 juta- Rp 1,5 juta. Jumlah itu dibagi kepada sedikitnya 6 kru. Empat pemain dan dua kru. Belum lagi grup yang masih menyewa alat kepada toke. Untuk toke paling sedikit 30%.
Demikian dikisahkan Marihot Sialagan, salah seorang pemusik Batak dari kelompok Nauli Musik kepada medanbisnisdaily.com, Sabtu (28/4/2018).
"Malah masih ada yang nampung di bawah Rp 1,3 juta. Paling tinggi dapat Rp 200.000/pemain. Padahal mainnya satu harian. Sudah hebat kalau sebulan bisa mentas 4 kali," katanya.
Ditambahkan Marihot, ada ratusan grup musik di Medan. Termasuk dari kalangan mahasiswa. Kami bersaing ketat. Sampai harus "banting" harga.
Musisi Batak Martogi Sitohang juga mengakui hal itu. Menurutnya, itu salah dari dasar. Ada yang sudah maestro tapi masih mau nampung di bawah Rp 2 juta. Jadi mereka yang masih baru, mau enggak mau harus nurunkan harga kalau mau dapat job.
Diakui Martogi, karena itulah ia tidak mau main di wisma (pesta adat). Kalau main di even seni beda. Apalagi mentas ke luar negeri, honor per orang bisa sampai Rp 10 juta, belum termasuk tips. Namun peluang itu diakuinya masih sangat terbatas.
Maestro musisi Batak, Marsius Sitohang kepada medanbisnisdaily.com belum lama ini juga mengaku rendahnya apresiasi yang mereka dapat bila mentas di panggung lokal, khususnya di pesta-pesta adat. Kalau pemain sulim honornya cuma Rp 300.000.
"Itu yang paling tinggi. Tapi kalau di luar negeri jutaan honornya," kata Marsius.