Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Sejarawan dan arkeolog di Sumatera Utara cenderung tak nyambung. Hal itu dikatakan peminat sejarah dari Universitas Gajah Mada (UGM), Dian Purba dalam diskusi sejarah Batak yang digelar Toba Writer Forum (TWF) bekerja sama dengan Balai Arkeologi Sumatera Utara (BASU).
Diskusi itu digelar di Kantor Balai Arkeologi Sumatera Utara (BASU), Jalan Seroja Raya, Gang Arkeologi, No 1, Medan Tutungan/Tanjung Selamat, Medan, Jumat (18/5/2018). "Perlu ada kolaborasi keduanya," kata Dian.
Dian menyanggah pendapat Joshua Sinurat, salah seorang peserta diskusi yang menyebut dulunya Pusuk Buhit dikuasai oleh orang Tionghoa bermarga Lim yang menjadi Limbong dan Lau menjadi Malau. Joshua mengutip buku yang ditulis SHW Sianipar.
"Apa yang Bapak Joshua katakan itu serupa dongeng," sanggah Dian.
Kepala BASU, Ketut Wiradnyana juga ikut menolak pendapat itu. “Semua harus didasarkan pada penelitian. Harus metodologis,” sanggahnya
Riduan Situmorang dari TWF mengatakan, penelusuran sejarah juga harus dikaitkan dengan sastra (folklore). Menurutnya, perlu dilihat untuk diperbandingkan lebih banyak folklore bermuatan sejarah atau mitos belaka. “Sastra, sejarah, dan arkeolog itu sebenarnya saling kait,” tutur Riduan.
Direncanakan, diskusi itu akan digelar setiap bulan. Dijelaskan budayawan Batak, Thompson Hs, rencananya bulan depan akan menghadirkan SHW Sianipar.
"Kemungkinan SHW Sianipar akan diundang dalam diskusi bulan depan. Pendapatnya tentang etnis Tionghoa di Pusuk Buhit itu akan diskusikan," kata Thompson Hs.
Tampak sejumlah penulis dari TWF hadir dalam diskusi itu, antara lain Firman Situmeang, Niko Adriano Hutabarat, dan Partahanan Simbolon. Turut juga hadir pengajar dari Prosus Inten Medan, Marudut Nababan dan Efrendy Sidauruk.