Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kian melemah. Meski besaran depresiasi nilai tukar rupiah saat ini dinilai tak separah krisis 1998, tapi pelemahan rupiah yang terus terjadi sampai saat ini perlu menjadi perhatian agar krisis tak keburu datang.
Seperti dikutip dari riset CNBC Indonesia, Rabu (23/5), ada delapan risiko yang membayangi dan berpeluang memukul rupiah lebih dalam. Jika tak diantisipasi, bukan tidak mungkin mini krisis bakal terjadi.
Delapan risiko yang membayangi terjadinya krisis tersebut di antaranya rencana kenaikan suku bunga the Fed, perubahan kebijakan ekonomi, terorisme dan ambisi infrastruktur Jokowi. Kemudian perang dagang AS-China, melemahnya konsumsi publik, perpecahan uni eropa dan perlambatan ekonomi China.
1. Terorisme
Menurut riset yang dilakukan CNBC Indonesia, kurs rupiah melemah rata-rata 1,1% pada hari yang sama ketika terjadi ledakan bom. Ini menunjukkan bahwa sentimen di pasar uang sangat dipengaruhi aksi-aksi terorisme. Celakanya, dalang aksi bom baru-baru ini belum tertangkap sehingga membuka peluang terjadinya serangan lanjutan.
2. Kenaikan Bunga Acuan the Fed
Kenaikan suku bunga AS secara lebih agresif menjadi sentimen negatif terbesar kedua, karena kebijakan tersebut memicu pembalikan modal asing dari Indonesia yang akan menekan rupiah. BI baru-baru ini memproyeksikan kenaikan Fed Fund Rate tahun ini bisa mencapai empat kali, atau lebih banyak dari perkiraan pasar sebelumnya sebanyak 3 kali.
3. Perubahan Kebijakan Ekonomi
Perubahan kebijakan menjadi kian populis juga memicu sentimen negatif di pasar uang. Beberapa lontaran pemerintahan untuk mem-peg harga BBM premium dan tarif listrik hingga 2019 direspons dengan pelemahan rupiah rata-rata 0,27%. Demikian juga kebijakan BBM satu harga yang menafikan praktik korporasi yang wajar hingga memperberat neraca Pertamina.
4. Perang Dagang AS-China
Perang dagang China dan AS menciptakan risiko selanjutnya, karena keduanya merupakan pasar utama Indonesia. Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), kedua negara dengan perekonomian terbesar ini menyerap sekitar 30% produk ekspor nasional.
5. Perpecahan Uni Eropa
Uni Eropa juga merupakan pasar utama Indonesia, sehingga perpecahan blok ekonomi tersebut juga memberikan dampak negatif terhadap rupiah.
6. Konsumsi Masyarakat Melemah
Dari dalam negeri, pelemahan konsumsi masyarakat yang sempat santer terdengar menjelang Lebaran tahun lalu terkonfirmasi dengan melemahnya konsumsi dalam porsi pembentukan produk domestik bruto (PDB) sehingga rupiah melemah rata-rata 0,19% merespon konfirmasi tersebut.
7. Ambisi Infrastruktur Jokowi
Yang juga perlu digarisbawahi, defisit neraca perdagangan hingga US$ 1,63 miliar baru-baru ini dipicu oleh tingginya impor mesin, peralatan listrik, dan baja. Konstruksi menjadi salah satu kontributornya.
Ambisi infrastruktur Presiden Jokowi bisa dibilang turut andil di dalamnya karena proyek-proyek yang manfaatnya bisa dirasakan dalam jangka panjang tersebut saat ini memicu kenaikan impor baja dan komponen pendukungnya.
Dengan demikian,ketegasan untuk mengerem proyek-proyek yang dinilai kurang memberikan multiplier effect ke industri seperti yang saat ini sedang dilakukan oleh Perdana Menteri Malaysia terpilih Mahathir Muhammad pun dirasa perlu. Negeri Jiran itu mengevaluasi ratusan proyek yang hanya memperberat anggaran.
8. Perlambatan Ekonomi China
Pemerintah China baru-baru ini menyiapkan kebijakan untuk mengantisipasi perlambatan ekonomi di Negeri Tirai Bambu tersebut menyusul kenaikan risiko perdagangan dan keuangan.
Saatnya Injak Rem
Di antara berbagai skenario yang membayangi perekonomian nasional tahun ini, diperkirakan ada dua yang paling mungkin terjadi di depan mata dan paling memengaruhi rupiah. Di dunia internasional, kita bakal melihat sikap brutal Presiden AS Donald Trump dalam mengibarkan panji 'America First' dan kebijakan proteksionisnya.
Sementara itu di dalam negeri, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berubah menjadi kian populis dan menciptakan langkah mundur atas reformasi ekonomi yang menjadi gebrakannya ketika terpilih pada 2014 lalu. Maklum saja, konstituen perlu diambil hatinya tahun ini, untuk memenangkan pertarungan tahun depan.
Kedua skenario tersebut, jika tidak diubah dari sekarang, diperkirakan bakal berujung pada munculnya delapan risiko yang menciptakan lubang-lubang ranjau di perjalanan pergerakan nilai tukar rupiah.
Melihat kedelapan risiko tersebut, ada baiknya pemerintah bersikap realistis. Di tengah tren pengetatan moneter di negara maju, pemerintah harus banting stir memfokuskan perhatian pada stabilitas, dan tidak lagi agresif mengejar pertumbuhan ekonomi (apalagi mencapai 7% seperti yang dijanjikan dalam kampanye).
Dengan demikian, stabilitas rupiah dan keamanan diyakini harus menjadi target utama kebijakan pemerintahan Jokowi tahun ini. Otoritas moneter (BI) dan fiskal (Kementerian Keuangan) harus bahu-membahu memperkuat kondisi moneter, menyambut "era capital outflow" 2018 sementara menteri teknis memperkuat fundamental dan stabilitas ekonomi. Percuma menargetkan inflasi (rendah) jika rupiah kebobolan yang pada akhirnya mendongkrak inflasi dari komponen impor (imported inflation).
Kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin ke level 4,5% baru-baru ini terbukti tidak cukup efektif mengerem laju pembalikan modal di tengah tren kenaikan yieldsurat berharga di AS seiring dengan rencana kenaikan Fed Fund Rate. Rupiah terus tertekan dan benarlah dugaan beberapa pelaku pasar bahwa kenaikan BI 7-Day Repo Rate mestinya sebesar 50 basis poin.
Betul bahwa kenaikan suku bunga bisa mengerem ekspansi swasta. Tetapi perlu diingat, swasta saat ini secara natural berada di posisi defensif. Pada triwulan terakhir tahun lalu, ketika atmosfer kebijakan moneter longgar masih terasa, industri perbankan mencatat dana menganggur Rp 300 triliun karena calon debitur memilih tidak mengajukan kredit baru.
Dari sisi fiskal, pemerintah harus realistis dengan tidak memaksakan diri mengalokasikan lebih banyak subsidi BBM untuk menahan harga premium sampai dengan tahun Pemilu. Alih-alih mengorbankan APBN, simpati rakyat akan lebih baik dicapai dengan memaksimalkan belanja APBN di pos lain seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Dana Desa.
Selain menarik simpati masyarakat terutama kalangan menengah ke bawah, program tersebut juga bisa menstimulasi konsumsi yang saat ini melemah, mengatasi problem demand constraint seperti yang sedang dihadapi sekarang. Harapannya, pertumbuhan konsumsi dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) kembali menguat. Sekali dayung, dua pulau terlampaui.
Terkait dengan perang dagang, pemerintah hanya perlu berpihak pada pihak yang tidak menyerang kepentingan Indonesia dan berpeluang menang dalam sengketa itu. Dalam hal ini, pihak tersebut adalah China. Alasannya sederhana, yakni pemerintah AS juga menyerang kepentingan dagang Indonesia, dan China yang kekuatan ekonominya menyaingi AS saat ini lebih komitmen menjalankan prinsip perdagangan bebas.
Mengutip UOB, sampai dengan April Bank Indonesia (BI) telah menyedot cadangan devisa US$9 miliar (sekitar Rp 127 triliun) untuk dilepas ke pasar (ditukarkan dengan rupiah) guna mengerem pelemahan mata uang nasional.
Angka tersebut fantastis, tetapi masih relevan dibelanjakan demi melihat pergerakan kurs rupiah akhir-akhir ini. Bagi perekonomian Indonesia yang strukturnya masih banyak ditopang aktivitas impor, penurunan mata uang jelas bukan kabar yang bagus karena nilai barang-barang yang dibeli Indonesia mulai dari kedelai, pakan ternak, hingga beras menjadi lebih mahal.
Demikian juga pembiayaan APBN juga sedikit-banyak disumbang utang dalam mata uang asing (dolar AS). Ketika rupiah melemah, maka kewajiban pemerintah membayar bunga dan pokok obligasi dalam mata uang asing menjadi semakin berat. Pemerintah harus mengumpulkan lebih banyak pajak atau devisa hasil ekspor untuk membayar kewajiban yang nilainya dalam dolar AS masih sama.
Pelajaran 1997 menunjukkan bahwa krisis Asia belum memukul ekonomi Indonesia sampai kemudian rupiah tersungkur 30% dalam dua bulan diiringi penarikan dana nasabah besar-besaran (bank rush). Anjloknya nilai rupiah ini mulai memukul sendi perekonomian ketika swasta kesulitan membayar kewajiban jangka pendeknya sehingga memicu PHK yang berujung pada problem sosial.
Rupiah sempat amblas dari Rp 11.000/US$ ke Rp 14.000/US$ pada semester I-1998. Tahun ini, kita melihat rupiah juga melemah hingga menyentuh level Rp 14.200/US$. Meski sekilas terlihat mirip, kondisi keduanya sangat jauh berbeda mulai dari stabilitas perekonomian (meski laju pertumbuhannya sedikit melambat), kesehatan industri perbankan, hingga inflasi yang terkendali.
Namun, ini tak memberi alasan bagi kita untuk terlena dan memilih menebarkan wacana betapa kondisi perekonomian bakal baik-baik saja. Sikap naif demikian pernah kita pertontonkan pada 1996.
Ekonom, mulai dari yang partikelir hingga yang profesional, di akhir tahun 1996 memuja-muji ekonomi nasional. Semua surat kabar arus utama juga optimis dengan nada pemberitaan riang. Lalu kita tahu, muka-muka riang mereka berubah menjadi pucat ketika krisis moneter, krisis ekonomi, krisis politik menyapu, hanya dalam dua tahun kemudian. (dtf)