Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta - Indonesia saat ini disebut-sebut masuk ke dalam kategori negara yang
terjebak di dalam kategori berpendapatan menengah atau middle income
trap. Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo membeberkan apakah
Indonesia bisa keluar dari jebakan ini pada 2030 mendatang.
Dalam sambutannya di sebuah diskusi, Perry mengungkapkan misi keluar
dari middle income trap adalah hal yang mustahil, ini sesuai dengan
perhitungan akademis.
"Mungkin mission impossible, terus terang dari pemikiran akademi kita
asumsikan dan melakukan proyeksi di BI bagaimana productivity hingga
kontribusi modal sudah naik?," kata Perry dalam diskusi di Gedung
CSIS, Jakarta Pusat, Rabu (6/6).
Perry menjelaskan, untuk pendapatan per kapita Indonesia bisa tumbuh
di atas US$ 10.400 di 2045 mendatang. Hingga 2017, pendapatan per
kapita Indonesia baru mencapai US$ 3.876,8.
"Perhitungan kami jika kita hanya kerja seperti biasa, pada 2045
income perkapita baru US$ 10.400. Kalau kita bisa kerja lebih ya bisa
lebih tinggi. Dengan pertumbuhan ekonomi 5,6% itu akan mendorong
pendapatan tinggi pada 2045," ujarnya.
BI menilai agar Indonesia bisa keluar dari middle income trap, maka
transaksi berjalan atau current account Indonesia harus surplus.
Selama ini current account Indonesia masih defisit.
Middle income trap merupakan sebuah istilah untuk negara yang
masyarakatnya terjebak di pendapatan menengah. Indonesia saat ini
disebut sebagai negara yang masuk dalam kategori tersebut.
Menurut Perry memang jika Indonesia ingin keluar dari jebakan tersebut
maka harus diimbangi dengan kerja yang sangat keras.
"Saya tidak bermaksud pesimistis, tapi melihat sejarah 10 tahun lalu,
ya sepertinya kita memang perlu kerja ekstra keras," ujarnya.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Shinta W Kamdani
menjelaskan Indonesia memiliki potensi besar untuk tumbuh pada 2030.
Namun, harus diimbangi dengan kepastian. Pasalnya pemerintah saat ini
masih tidak pasti dalam membuat kebijakan.
"Sekarang masih inkosistensi, mereka maunya apa, tapi tidak konsisten.
Padahal kan kita ada pekerjaan rumah untuk meningkatkan daya saing.
Tanpa itu kita mau ke mana?," ujar Shinta.
Dia menjelaskan di dunia usaha saat ini yang harus diperhatikan adalah
ketimpangan. Pasalnya ini sangat mempengaruhi bisnis dan dunia usaha.
Padahal masyarakat yang sejahtera turut membantu untuk mempermudah
pembangunan.
Untuk mengurangi ketimpangan, memang dibutuhkan pengembangan teknologi
dan wirausaha misalnya mengembangkan perusahaan rintisan atau startup.
Misalnya untuk penyiapan pendanaan, pembiayaan, pemasaran hingga
jaringan yang melibatkan dunia usaha.
Anggota Dewan Komisaris CSIS Mari Elka Pangestu menjelaskan untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi maka penduduk Indonesia sudah mulai
harus beranjak dari pelayanan tradisional. Dia mencontohkan, ada
sebuah desa yang melakukan ekspor desain logo ke luar negeri.
"Ada sebuah desa, di mana penduduknya melakukan ekspor jasa desain
membuat logo untuk pembeli di luar negeri. Ini digital ekonomi
berperan untuk meningkatkan kesejahteraan," ujarnya.
Dia menjelaskan pemerintah juga harus mendorong produktifitas dan
teknologi untuk pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. (dtf)