Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Federal Reserve (The Fed) yang menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin menjadi 1,75-2%, kemungkinan bakal membuat perbankan "mengutak-atik" suku bunga kreditnya.
Keputusan tersebut, tentunya bisa berdampak terhadap pengajuan pinjaman modal kerja. Karena itu, pengusaha di Sumatera Utara (Sumut) meminta perbankan tidak serta merta menaikkan suku bunga kreditnya jika Bank Indonesia (BI) memutuskan ikut menyesuaikan besaran suku bunga acuannya.
Sekretaris Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumut, Laksamana Adyaksa, mengatakan, memang untuk menjaga stabilitas rupiah pasca kebijakan The Fed, mau tak mau, BI harus mempertimbangkan untuk menaikkan tingkat suku bunga.
"Jika masih di kisaran 5-5,5%, saya kira masih bagus. Asalkan perbankan bisa menahan diri untuk tidak langsung mengambil kebijakan menaikkan bunga kreditnya," katanya, Senin (18/6/2018).
Alasannya, beber Laks, saat ini daya serap pasar terhadap kucuran dana dari bank tidak lagi seimbang. Sehingga yang dikhawatirkan juga apabila nilai suku bunga kredit dinaikkan, dana yang menumpuk di bank itu tidak tersalurkan. Karena bakal banyak pengusaha semakin berhati-hati.
Jadi kalau pun nanti pemerintah menaikkan suku bunganya, pengusaha berharap, bank tidak serta merta menaikkan suku bunga kredit. Apalagi saat ini, interval antara suku bunga pinjaman dan simpanan mencapai 4%. Dengan besarnya interval tersebut, perbankan akan tetap bisa survive meski tak menaikkan suku bunga kreditnya.
Pengusaha pun berharap, BI segera mengambil kebijakan terkait suku bunga. Dipastikan Laks, jika antara 5-5,5%, masih tidak berdampak terhadap dunia usaha. Apalagi tujuannya untuk menjaga stabilitas rupiah.
"Rupiah bisa saja tidak terkendali lantaran kebijakan The Fed. Karena keputusan itu mau tidak mau membuat orang tertarik. Pasar uang kan demikian. Makanya harus segera ada tindakan agar rupiah terjaga. Jika sempat bergejolak, maka barang-barang impor akan mahal yang akhirnya berdampak pada konsumen," kata Laks.
Dengan adanya kestabilan rupiah, maka akan mendorong para pengusaha melakukan berbagai investasi kembali. Rupiah harus berada di level Rp 13.000-an per dolar AS, jangan sampai di angka Rp 14.000 per dolar AS. Meski memang banyak mata uang terdepresiasi pasca kebijakan The Fed, tapi diharapkan rupiah harus terkendali. Lantaran pengusaha banyak membutuhkan dolar AS untuk pembayaran barang-barang dari luar (impor). Jadi kalau barang impor mahal karena dolar AS menguat, maka akan berdampak ke konsumen.
Laks pun berharap, setelah lebaran, petinggi BI akan segera menyikapi kebijakan The Fed.