Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Ankara. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah mendominasi perpolitikan Turki selama 15 tahun terakhir. Pemilu yang akan digelar 24 Juni besok akan menjadi tantangan pemilu terbesar bagi Erdogan.
Erdogan (64) yang merupakan kandidat incumbent, diketahui sudah menjabat Presiden Turki sejak tahun 2014. Sebelum itu, Erdogan menjabat Perdana Menteri (PM) Turki dari tahun 2003 hingga tahun 2014. Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang menaunginya telah memenangkan pemilu sejak tahun 2002. CNN menyebut Erdogan sebagai pemimpin Turki yang paling lama menjabat sejak negara itu terbentuk tahun 1923.
Dalam pemilu yang digelar Minggu (24/6) besok, warga Turki akan memiliki presiden dan anggota parlemen. Seperti dilansir Reuters, Sabtu (23/6), pemilu tahun ini menjadi salah satu yang terpenting dalam sejarah modern Turki. Sebabnya, pemenang pilpres nantinya akan memiliki kekuasaan eksekutif baru di bawah referendum konstitusi tahun lalu, yang memutuskan menghapus peran PM dan memusatkannya ke Presiden.
Dengan mengumumkan pemilu digelar lebih awal pada 24 Juni besok -- awalnya dijadwalkan November 2019, Erdogan terkesan ingin mempersulit lawan-lawan politiknya. Namun lawan-lawan politik Erdogan mulai mendapatkan momentum dengan pencalonan Muharrem Ince (54), bulan lalu.
Ince menjadi capres Partai Rakyat Republik (CHP), yang merupakan partai oposisi terbesar Turki. Sosok Ince menarik perhatian banyak warga Turki karena karisma dan kemampuan orasinya yang dibanding-bandingkan dengan Erdogan. Dia bahkan menantang Erdogan berdebat secara terbuka.
Erdogan menyebut Ince sebagai 'magang' dan menyebutnya kurang berpengalaman. Namun sebuah video yang beredar luas di media sosial menunjukkan Erdogan menyatakan menang pemilu tahun ini 'tidaklah mudah'. Bahkan dalam wawancara pekan ini, Erdogan memunculkan kemungkinan terbentuknya pemerintahan koalisi, jika partainya kehilangan dominasi dalam parlemen.
"Erdogan tidak bisa mempengaruhi pemilu kali ini. Dia berusaha tapi dia tidak mampu," sebut jurnalis ternama Turki, Rusen Cakir, yang telah mengikuti perjalanan karier Erdogan selama bertahun-tahun.
Erdogan selalu mengonsolidasikan kekuasaan di setiap langkah politiknya. Dia membubarkan unjuk rasa antipemerintah, tahun 2013 dia lolos dari penyelidikan korupsi terhadap orang-orang dekatnya. Setelah upaya kudeta gagal melengserkannya tahun 2016, Erdogan menyisihkan lawan-lawannya dengan memecat puluhan ribu pegawai pemerintah, merombak institusi publik, memenjarakan para pengkritik dan membungkam media.
Saat referendum konstitusi tahun lalu untuk mengubah sistem parlementer Turki ke sistem presidensial, Erdogan menang tipis.
Namun mantra-mantra pembangunan dan pertumbuhan yang selalu digaungkan Erdogan selama ini, mulai kehilangan kemasyhurannya. Rakyat Turki mulai merasakan kondisi perekonomian yang tak stabil. Nilai tukar mata uang Turki, Lira, merosot 20 persen sejak awal tahun. Inflasi naik ke level 12 persen dan suku bunga berada di angka 18 persen. Sejumlah pemilih di Turki merasa lelah dengan situasi ini.
"Ini adalah situasi di mana Erdogan tidak bisa menyalahkan siapapun. Ini bukan seperti pemerintah dikendalikan orang lain jadi dia bisa berbalik dan berkata 'pilih saya agar saya bisa meningkatkan perekonomian'. Ini adalah titik lemahnya dan dia tahu itu," ucap Asli Aydintasbas, peneliti senior pada Divisi Hubungan Internasional pada Dewan Eropa.
Muharrem Ince Jadi Ancaman Terbesar Erdogan dalam Pilpres
Di sisi lain, Ince yang disebut oleh CNN sebagai 'ancaman terbesar' bagi Erdogan, terus menyerangnya di titik paling rapuh, yakni ekonomi. "Erdogan, rakyat memasak batu bukannya makanan. Rakyat memasak kekhawatiran mereka bukannya makanan. Lihatlah harga kentang, bawang. Tidak ada roti!" teriak Ince di hadapan pendukungnya saat kampanye di kota Antalya, beberapa waktu lalu.
"Ayo, mari kita berdebat. Mari bicara soal perjuangan untuk bertahan hidup, membayar sewa, menyekolahkan anak-anak," imbuhnya.
Dalam wawancara dengan wartawan CNN, Christiane Amanpor, Ince menyatakan inilah saatnya untuk perubahan. "Saya percaya pada kekuatan jalanan. Saya percaya pada harapan rakyat untuk perubahan. Orang-orang muak dan lelah. Turki muak dan lelah. Institusi telah diambil alih. Demokrasi Turki telah dihancurkan. Seorang pria menguasai seluruh Turki. Turki harus mencari jalan keluar dari ini," tegas Ince.
Menurut Asli Aydintasbas, peneliti senior pada Divisi Hubungan Internasional pada Dewan Eropa, sosok Ince yang tergolong politikus tidak biasa mampu memperluas dukungan dari basis CHP biasanya di kalangan pemilih kelas menengah ke atas. Berkat Ince, kalangan muslim taat dan Kurdi mulai menunjukkan dukungan pada oposisi.
"Mantan pemimpin partai biasanya birokrat atau negarawan. Ince, dengan asal keluarganya di pedesaan, ayahnya yang sopir truk dan ibundanya juga saudara perempuannya yang memakai hijab berbeda dengan pendahulu-pendahulunya," sebut Aydintasbas.
Saat Ramadan, Ince mengajak saudara perempuannya yang berhijab dalam kampanye. Sikap ini seolah memperjelas dirinya akan menjamin hak kaum wanita memakai hijab di tempat umum, termasuk universitas. Larangan hijab di tempat umum berlaku usai percobaan kudeta tahun 1997. Wanita berhijab dilarang masuk kampus, belajar medis dan hukum juga menjadi anggota parlemen, hingga Erdogan mencabutnya tahun 2013.
Ince juga menjangkau warga Kurdi, etnis minoritas terbesar di Turki. Suara warga Kurdi biasanya terpecah antara AKP yang menaungi Erdogan dan Partai Demokrasi Rakyat (HDP) yang pro-Kurdi dan beraliran sayap kiri. Kampanye Ince di Diyarbakir, basis terbesar Kurdi, dihadiri banyak orang. Suara warga menjadi vital dalam pemilu parlemen Turki. Jika HDP berhasil mencapai 10 persen batas suara, maka dominasi AKP di parlemen akan hilang. (dtc)