Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta
Harga acuan bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia masih menggunakan perhitungan kesepakatan di tahun 2015. Pengamat BUMN yang juga mantan staf khusus menteri ESDM, Said Didu menjelaskan kondisi tersebut dianggap sebagai salah satu biang keladi seretnya keuangan PT Pertamina (Persero).
"Masalah sistem subsidi BBM ini, yang sekarang ini kan di rancang tahun 2015 dengan ketentuan bahwa apabila terjadi kenaikan harga minyak dunia atau pelemahan kurs intinya tidak ekonomis maka harga dinaikkan itu prinsipnya," kata dia, Senin (23/7).
Kebijakan tersebut dirasa tidak relevan dengan kondisi saat ini. Karena, di tahun 2015, nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah masih di kisaran Rp 13.000.
"Kan saat kebijakan ini ditetapkan harga minyaknya US$ 30-40/barel. Kita menghitung bahwa selama masih US$ 50/barel kurs Rp 13.000," kata dia.
Sementara, saat ini harga minyak dunia ada di kisaran US$ 70/barel dengan kurs Rp 14.500/dolar.
"Itu US$ 50 dollar per barel dengan kurs dollar Rp 13.000 ya. Nah sekarang harga minyak di atas US$ 70 per barel dan kurs rupiah Rp 14.500. Kalau saya lihat saat direksi Pertamina mengirim surat ke Kementerian BUMN itu tandanya akalau mereka sudah nggak kuat lagi (menanggung,)" kata dia.
Beban penjualan BBM ini yang konon membuat keuangan Pertamina seret hingga muncul rencana penjualan aset yang saat ini bikin geger.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, salah satu yang membuat keuangan Pertamina terganggu juga karena harga jual BBM yang terus ditahan khususnya BBM bersubsidi.
"Bahwa dia sekarang ini karena harga BBM tidak naik. Tentu dia keuangannya agak seret," tambahnya.(dtf)