Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Marsius Sitohang (65) tak pernah menyangka perjalanan hidupnya telah membawanya melanglang buana karena keahliannya memainkan instrumen musik Batak. Dengan lika-liku hidupnya dalam bermusik, tahun 2013, lelaki yang berasal dari Kampung Palipi, Kecamatan Palipi, Kabupaten Samosir iin dianugerahi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Muhammad Nuh sebuah penghargaan maestro seni tradisi tahun 2013.
Ditemui medanbisnisdaily.com, di rumahnya di Tanjung Morawa, Rabu (8/8/2018), dia mengisahkan perjalanan hidupnya. Sejak usia belasan tahun dia sudah merantau ke Medan. Dari kampungnya dia belajar opera Batak, dikembangkannya saat di Medan. Namun tahun 1981 dia berhenti. Tahun 1985 dia diminta untuk mengajar di Universitas Sumatera Utara. Selain itu dia juga mengajar seni tradisi untuk difabel di Tanjung Morawa dan Titi Kuning hingga sekarang.
"Ngajar muski Batak Toba lah. Hasapi, suli, serunai, dan banyak lagi lah. Dari situ sampai sekarang terus berkecimpung. Gini-gini aja. Tak ada kayanya," katanya.
Perkenalannya dengan musik diawali dengan rasa penasarannya terhadap alat musik Batak, suling. Saat itu dia hanya mencoba-coba mengikuti alunan musiknya. Lalu saat salah satu anggota opera Batak keluar, dia menawarkan diri untuk bergabung. Sempat diragukan namun kemudian berlanjut dan dia terus belajar. Tak sia-sia karena kemudian dia menguasai banyak alat musik tradisional Batak.
"Kita belajar pegang suling. Kutiup sambil menggembala kerbau. Saya SD tak selesai, lalu lari lah ke opera Batak di situlah kutengok banyak alat yang sangat menarik hati saya mempelajarinya. Saya belajar tidak seperti sekarang yang pakai metode. Saya dengarkan lalu mencobanya. Inilah talenta yang diberikan Tuhan kepada saya," katanya.
Keahliannya memainkan musik membawanya bermain di berbagai daerah di Indonesia. Negara-negara lain yang pernah dipijaknya untuk bermain musik mulai antara lain Malaysia (Penang, Kuala Lumpur), Singapura, Korea, Belanda, Jerman, Swiss, Prancis, Frankfurt, Amerika, Australia, Jepang, Arab Saudi, India, Uzbekistan, Dohha, dan lain sebagainya.
"Kalau kita ini, sudah main di 4 benua lah. Itu perjalanan saya. Tapi, seniman ini kurang diperhatikan lah, bayaran seniman tradisi ini kan kecil. Kalau artis Jakarta, ini misalnya, dibayar Rp 15 juta, kita hanya Rp 5 juta. Padahal mereka main hanya 3 lagu, sementara kita 3 jam," katanya.
Biarpun demikian, dia tetap mensyukuri perjalanan yang dilewatinya. Seni memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Penghargaan secara kelimuan sudah dirasakannya namun penghargaan materi yang masih kecil.
"Dari tahun 1981 saya menjelajah dunia. Inilah keadaannya. Paling hanya bisa beli becak dan beras. Tapi saya tak pernah mengeluhkan. Saya tetap mensyukurinya," katanya.
Dia menuturkan, sudah banyak orang asing mulai dari Australia, Jerman, Amerika dan lain sebagainya yang kini mahir memainkan alat musik Batak. Mereka sangat cepat mempelajari.
"Kalau ditanya keinginan saya, ada tempat orang-orang kita bisa belajar alat musik kita. Saya bisa mengajari mereka bermusik. Kalau tidak, apa tak malu nanti kalau belajar suling, taganing, hasapi, serunai kecil dan besar ke luar negeri. Dari dulu sampai sekarang itu masih belum terwujud, siapa yang akan memperhatikan," katanya.