Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Turki tengah mengalami krisis mata uang. Lira yang menjadi mata uang Turki telah melemah lebih dari 40% sejak awal tahun.
Menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Dzulfian Syafrian apa yang tengah menimpa Turki bisa juga menimpa Indonesia. Sebab dia menilai Indonesia dan Turki dalam kondisi yang hampir sama.
"Indonesia dan Turki sama-sama mengalami defisit ganda (twin deficits), yaitu defisit fiskal dan defisit neraca berjalan," terangnya dalam keterangan tertulis, Rabu (15/8).
Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri baru saja mengeluarkan data neraca perdagangan Indonesia di bulan Juli. Hasilnya kembali mengalami defisit, kali ini nilainya US$ 2,03 miliar.
Defisit terjadi karena impor Indonesia bulan Juli 2018 tercatat US$ 18,27 miliar, sedangkan ekspor bulan Juli 2018 tercatat US$ 16,24 miliar.
Tahun ini pemerintah juga memperkirakan defisit anggaran pada APBN tahun 2018 mencapai Rp 325,9 triliun atau 2,19% dari PDB. Besaran ini lebih rendah dibandingkan outlook APBN Perubahan tahun 2017 sebesar 2,67% terhadap PDB.
"Defisit ganda ini lah yang menjadi alasan struktural dan fundamental mengapa rupiah terus melemah," terangnya.
Pelemahan rupiah terhadap dolar AS memang masih terus terjadi. Beberapa hari yang lalu bahkan dolar AS sudah menyentuh level Rp 14.600.
Menurut Dzulfian defisit neraca berjalan yang terjadi disebabkan utamanya karena arus modal keluar (capital outflow) dari Indonesia ke AS. Hal itu juga disebabkan naiknya tingkat suku bunga AS (Fed Fund Rate).
Pelarian modal ini, tidak hanya dialami Indonesia tetapi juga negara-negara emerging marketlainnya, termasuk Turki.
"Bahkan, Turki mengalami pelarian modal yang paling parah, tercermin dari defisit neraca berjalan yang mencapai 5% dari PDB. Itu lah mengapa mata uang Turki, yaitu Lira, mengalami pelemahan paling parah terhadap dollar AS pada 2018 ini," terangnya. (dtf)