Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Pergantian nama Bandara Silangit menjadi Bandara Sisingamangaraja XII menuai pro dan kontra di masyarakat. Disebut-sebut, bahkan ada sekelompok masyarakat di sekitar bandara yang "mengancam" akan menuntut hibah tanah bandara itu dibatalkan.
Hal itu disampaikan salah seorang praktisi hukum dan pegiat budaya Batak Toba yang juga seorang advokat, Susunan Situmorang kepada medanbisnisdaily.com, Minggu (9/9/2018).
"Bila keberatan mereka tidak diperhatikanKementerian Perhubungan, ada ancaman hibah tanah bandara akan dibatalkan," ujarnya.
Menurut Suhunan, persoalan ini harus disikapi dengan bijak. Pemerintah mesti menyadari psikologis-antroprologis masyarakatnya. Sisingamangaraja XII bermarga Sinambela dari klan (marga-marga) Siraja Oloan.
Sementara, masyarakat di sekitar bandara, yakni kampung atau huta Pariksabungan, umumnya dari klan (marga-marga) Sibagotni Pohan. Egoisme dan legitimasi atas eksistensi marga dan klan, umumnya masih kuat dalam diri orang Batak.
Meski perlahan sistem pemilikan tanah bergeser dan marga atau orang lain bisa memiliki lahan/tanah suatu marga karena jual beli, sentimen purba sebagai "raja huta," "sisuan bulu," masih tertanam dalam diri orang Batak, kecuali bagi yang tak peduli atau tak lagi memiliki ikatan dengan tanah asal leluhur (bona pasogit) dan jumlahnya cukup banyak.
Batak adalah etnis yang meski bersifat komunal, tetap mengedepankan eksistensi "harajaon" masing-masing marga/klan, dan karena itulah tak mengenal pemusatan kekuasaan di satu tangan atau marga.
Pemimpin wilayah atau "pemerintahan" pada masa lampau (pra penggabungan jadi NKRI maupun di masa kolonialisme) bersifat kolektif, terdiri dari bius-bius dengan unsur berbagai marga.
Itu pula sebab, Batak (khususnya yang disebut Toba), tidak mengenal dinasti, kesultanan, atau kerajaan, seperti di suku lain. Otonomi marga dengan wilayah yang dikuasai amat menonjol.
Maka, walau Sisingamangaraja XII yang paling menonjol dalam perlawanan menolak kolonialisme Belanda dan terkenal dengan Perang Batak selama 30 tahun, marga-marga lain dan yang ber-harajaon di berbagai tempat, tak menganggap Sisingamangaraja XII sebagai pemimpin mereka.
Batak itu, dasarnya, gengsi atau keberatan dipimpin dan dikendalikan marga lain--kendati marganya kecil populasi dan wilayah tak luas. Semua marga ingin otonom, tak dikooptasi marga lain.
Karena itu pula sampai kini tak ada figur yang bisa mengklaim atau diklaim "tokoh Batak," walau reputasi atau jabatannya penting di pemerintahan RI atau kaya raya, misalnya. Untuk marganya mungkin, tetapi tidak atau belum tentu bagi marga lain.
Ditambahkan Suhunan, kasus penolakan pergantian nama bandara modern pertama di bumi Tapanuli ini sebenarnya bisa dihindari andai para pengambil keputusan mau memahami karakteristik masyarakat di sana dengan meminta pendapat dari berbagai kalangan--terutama untuk memahami aspek sosio-kultural-psikologis Batak Toba. Tak sulit melakukan itu, sebelum membuat keputusan.
Kini dan mungkin seterusnya, dampaknya jadi kurang bagus karena jadi perdebatan yang kontraproduktif dengan keinginan membangun kawasan Tapanuli dan Danau Toba--yang meningkat di era Presiden Jokowi.
Bandar Udara Internasional Silangit yang terletak di Kecamatan Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara, berubah nama menjadi Bandar Udara Internasional Raja Sisingamangaraja XII. Perubahan nama itu ditetapkan melalui Keputusan Menteri Perhubungan (Menhub) Nomor KP 1404 Tahun 2018 tentang tentang Perubahan Nama Bandar Udara Internasional Silangat Menjadi Bandar Udara Internasional Raja Sisingamangaraja XII pada tanggal 3 September 2018.