Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Direktur Yayasan Leuser Lestari (YLL), Dony Saputra, mengatakan, kebanyakan orang selalu berpikir bahwa cuaca ekstrim menjadi penyebab utama terjadinya banjir. Menurutnya, cuaca ekstrim tidak menjadi soal jika lingkungan terjaga dengan baik. Yang menjadi persoalan, terjadi cuaca ekstrim dan lingkungan tidak dalam kondisi baik.
Solusi yang munculpun selalu bersifat teknis dan jangka pendek yang tidak selalu menjawab persoalan. Banjir di sungai, misalnya. Solusi yang diajukan selalu teknis dengan menggusur bangunan atau rumah di pinggiran sungai. Padahal, banjir adalah siklus yang pasti terjadi jika tutupan lahan semakin berkurang.
Sama halnya dalam penanganan genangan air, menggali drainase setiap tahun. Di saat yang sama, sinkronisasi dengan tata ruang justru dilupakan.
""Nah, tata ruang itu soal kemauan politik. Sebaiknya pemerintah punya kemauan politik dan berpikir secara ekologis bahwa banjir atau genangan air sebagai siklus hidrologi, bahwa kalau tanah atau daerah penting dialihfungsikan kemampuan menangkap air berkurang, banjir dan genangan akan terus terjadi," katanya kepada medanbisnisdaily.com, Jumat (12/10/2018), di Medan.
Pemerintah, lanjutnya, harus mampu menjamin adanya tata ruang yang bagus. Dalam menangani banjir di sungai, tidak perlu secara ekstrim dengan menggusur rumah-rumah di pinggiran sungai tapi mulai membuat rencana tata ruang yang lebih baik, serta melakukan kajian yang komprehensif.
Aspek lingkungan hidup, kata dia, tidak bisa disepelekan dalam pengambilan keputusan. "Kalau di Jakarta misalnya, ada pembebasan lahan di Kali Jodo. Itu mengatasi banjir, tapi sebentar karena tidak juga iselesaikan juga masalah konversi lahan di kawasan Puncak," pungkasnya.
Beberapa waktu yang lalu, pengamat lingkungan, Jaya Arjuna mengatakan bahwa Pemerintah Kota Medan tidak mampu mengelola daerahnya dengan baik walaupun hanya dengan meniru yang sudah dikerjakan oleh Belanda yang telah mendesain ibukota Provinsi Sumatera Utara ini dengan standar Eropa dan karenanya disebut sebagai Paris van Sumatera.
Dia pun mengusulkan Pemerintah Kota Medan membeli lahan-lahan di tiap kecamatan untuk dijadikan embung sebagai penampung air.
Pengorekan gorong-gorong menurutnya tidak berhasil menjawab masalah banjir dan genangan air di banyak titik. Justru, kata dia, titik banjir di Medan terus bertambah banyak. Dia mendesak Pemko Medan agar lebih terbuka dan mulai memberitahu ke masyarakat sebenarnya apa saja faktor banjir di Medan ini.
Ia mengapresiasi Pemko Medan menormalisasi gorong-gorong. "Tapi kenapa makin banjir? Pemko juga harus membuka diri membicarakan masterplan penanganan banjir di Medan. Ada tidak? Kalo ada, kenapa banjir terus terjadi," katanya.