Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. PDIP mencap Soeharto sebagai guru korupsi. Hal itu sebagai sanggahan atas kampanye Prabowo yang menyatakan korupsi di Indonesia dewasa ini dianalogikan sebagai penyakit kanker stadium 4. Benarkah?
"Soeharto sebagai Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahannya melakukan praktik penyalahgunaan wewenang yang membawa kerugian keuangan negara (korupsi) bukan lagi hanya sebuah opini melainkan sudah menjadi keputusan hukum negara," kata ahli hukum tata negara Bayu Dwi Anggono, Kamis (29/11/2018).
Bayu bicara bukannya tanpa bukti. Sebab, sudah banyak keputusan hukum oleh negara, baik berupa TAP MPR dan Putusan Pengadilan yang di dalamnya telah menyebut bahwa selama pemerintahan Soeharto dipenuhi praktik korupsi termasuk yang dilakukan oleh Soeharto sendiri.
Putusan hukum oleh negara itu berupa:
1. Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
"Secara jelas dalam bagian menimbang menyebutkan bahwa dalam penyelenggaraan negara selama era orde baru telah terjadi praktik-praktik usaha yang lebih menguntungkan sekelompok tertentu yang menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melibatkan para pejabat negara dengan para pengusaha sehingga merusak sendi-sendi penyelenggaraan negara dalam berbagai aspek kehidupan nasional," ujar Direktur Puskapsi Universitas Jember itu.
2. Pasal 4 TAP MPR XI/MPR/1998 berisi perintah negara untuk melakukan penegakan hukum terhadap Soeharto yaitu Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto.
3. Pada 31 Maret 2000 Kejaksaan menetapkan Soeharto sebagai tersangka atas dugaan korupsi 7 (tujuh) yayasan yang dipimpinnya. Kemudian Pada Agustus tahun 2000 perkara masuk tahap persidangan. Mengingat upaya menghadirkan Soeharto dalam persidangan selalu gagal maka pada 11 Mei 2006 Kejaksaan memilih menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Soeharto karena perkara ditutup demi hukum yaitu gangguan kesehatan permanen pada Soeharto sehingga persidangan tidak mungkin dilanjutkan.
"Patut diingat bahwa Berdasarkan Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP penghentian penuntutan karena perkara ditutup demi hukum tidaklah menghapuskan tindak pidana terdakwa," kata Bayu menegaskan.
4. Pada 9 Juli 2007 Kejaksaan Agung menggugat Soeharto secara perdata. Yayasan Supersemar termasuk yang digugat jaksa. Hasilnya pengadilan melalui berbagai putusan mulai Putusan PN sampai putusan peninjauan kembali (PK) menyatakan Yayasan Supersemar terbukti telah melakukan perbuatan melawan hukum. MA menghukum Yayasan Supersemar mengembalikan dana sebesar Rp 4,4 triliun ke negara.
"Jumlah tersebut merupakan total dana yang diselewengkan yayasan yang diketuai Soeharto sejak 1974 hingga lengser dari kursi presiden," beber Bayu.
5. Dalam putusannya MA tegas menyatakan Soeharto selaku Ketua Yayasan Supersemar melakukan perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian keuangan negara. Dana negara yang masuk ke kas Yayasan Supersemar oleh Soeharto dibelokkan di luar tujuan pendidikan dan disalurkan ke kroninya. Dana itu diselewengkan ke:
-PT Bank Duta USD 125 juta.
-PT Bank Duta juga kembali diberi dana USD 19 juta.
-PT Bank Duta kembali mendapat kucuran dana USD 275 juta.
-Sempati Air sebesar Rp 13 miliar kurun 1989 hingga 1997.
-Diberikan kepada PT Kiani Lestari sebesar Rp 150 miliar pada 13 November 1995.
-Diberikan kepada PT Kalhold Utama, Essam Timber dan PT Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri sebesar Rp 12 miliar pada 1982 hingga 1993.
-Diberikan kepada kelompok usaha Kosgoro sebesar Rp 10 miliar pada 28 Desember 1993.
"Dengan telah jelasnya putusan negara baik dalam bentuk TAP MPR maupun putusan pengadilan maka sebenarnya tidak perlu lagi perdebatan perihal terbukti tidaknya Soeharto melakukan praktik penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara.
Justru saat ini semua kelompok masyarakat seharusnya bersatu untuk mencegah agar segala bentuk penyelewenangan selama masa Soeharto tidak terulang kembali," pungkasnya. (dtc)