Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Pemasaran produk asuransi tanggung jawab pengangkut angkutan udara masih belum dapat dilakukan. Hal ini disebabkan hingga saat ini, Kementerian Perhubungan belum mengeluarkan Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) yang mengatur petunjuk teknis tentang pemasaran produk asuransi tersebut kepada pengguna angkutan udara.
Pengamat transportasi udara, Jeremy S Tobing, kepada wartawan, Senin (17/12/2018), mengatakan, dirinya hingga saat ini tidak mengetahui alasan Kementerian Perhubungan belum mengeluarkan Kepmenhub tersebut.
"Padahal kewajiban adanya asuransi tanggungjawab pengangkut angkutan udara tersebut sudah tertera dalam Peraturan Menteri Perhubungan No 77 Tahun 2011 tentang Tanggungjawab Pengangkut Angkutan Udara yang direvisi ke dalam Peraturan Menteri Perhubungan No 92 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011, Perpres No 95 Tahun 2016 tentang Pengesahan Convention For The Unification Of Certain Rules For International Carriage By Air (Konvensi Unifikasi Aturan-Aturan Tertentu tentang Angkutan Udara Internasional) dan Konvensi Montreal Tahun 1999," ujarnya.
Jeremy mengatakan, hingga saat ini sudah ada dua konsorsium asuransi yang siap untuk memasarkan asuransi tanggungjawab pengangkut angkutan udara tersebut. Sedangkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sendiri pada tahun 2013 lalu telah mengeluarkan izin untuk produk asuransi tersebut. Adapun nama produk tersebut adalah Asuransi Tanggungjawab Pengangkut Angkutan Udara (SIMPATIK).
"Artinya, dari kesiapan perusahaan asuransi serta izin dari OJK sudah ada. Tinggal masalahnya, belum ada Kepmenhub yang mengatur teknis pemasarannya. Ini yang menjadi kendala," ujarnya.
Jeremy mengatakan, pada Pasal 16 ayat (1) dari Peraturan Menteri Perhubungan No 77 Tahun 2011 yang direvisi ke dalam Peraturan Menteri No 92 Tahun 2011 berbunyi Tanggungjawab pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib diasuransikan oleh pengangkut kepada satu atau gabungan beberapa perusahaan asuransi.
Sedangkan Pasal 2 sendiri berbunyi Pengangkut yang mengoperasikan pesawat udara wajib bertanggung jawab atas kerugian terhadap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka, hilang atau rusaknya bagasi kabin, hilang, musnah, atau rusaknya bagasi tercatat, hilang, musnah, atau rusaknya kargo, keterlambatan angkutan udara dan kerugian yang diderita oleh pihak ketiga.
“Sementara pada Pasal 16 ayat (7) menyebutkan bahwa Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat 1, 2 dan 3 tersebut ditetapkan melalui Keputusan Menteri," jelasnya.
Persoalannya, ujar Jeremy, hingga saat ini Keputusan Menteri Perhubungan (Kemenhub) tersebut belum ada dan ini yang akhirnya menjadi kendala dalam mewujudkan asuransi tanggungjawab pengangkut angkutan udara.
Jeremy mengatakan, masyarakat sebagai konsumen tidak akan keberatan jika ada kewajiban untuk membayar premi dari asuransi tersebut. Sebab, hal ini juga bertujuan untuk melindungi hak-hak konsumen.
"Sebagai contoh, dalam setiap pembelian tiket pesawat, sudah termasuk iuran jasa raharja. Sehingga, misalkan, jika terjadi kecelakaan, maka pihak Jasa Raharja langsung membayarkan santunan dalam waktu yang cepat. Hal itu karena memang sudah tertera dalam tiket," ujarnya.
Karena itu, pihaknya mendesak agar Kementerian Perhubungan dapat mengeluarkan Kepmenhub tersebut, sehingga hak-hak konsumen dalam hal ini pengguna angkutan udara, dapat semakin terlindungi.
"Dan keluarga pengguna angkutan udara tidak akan tersandera dengan beragam syarat untuk pencairan asuransi sebesar Rp 1,25 miliar seperti yang tertera dalam Peraturan Menteri Perhubungan No 77 Tahun 2011, karena penumpang telah langsung melakukan pembayaran premi yang besarnya sekitar Rp 25.000-Rp 30.000 kepada konsorsium asuransi melalui maskapai," ujarnya.