Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Kisah tentang petugas kepolisian yang menggunakan kewenangannya untuk bertindak semena-mena, seperti pemerasan, bagai tak pernah habis. Jabatan dan hukum bagi mereka menjadi senjata untuk menakut-nakuti. Kendati sesungguhnya tak ada pelanggaran yang dilakukan.
Pedagang sayur antar kota, Ya'atulo Halawa, menceritakan pengalamannya kepada medanbisnisdaily.com, Rabu (16/1/2019). Disaksikan salah seorang anggota DPRD Kabupaten Dairi, yang tak lain adalah kerabatnya. Berjualan aneka sayur dan buah, dia sudah menekuninya beberapa tahun terakhir. Dari Gunung Sitoli, Kepulauan Nias, dagangannya dibeli dari Pasar Induk Lau Cih, di Medan.
Beberapa kali dalam satu minggu dengan menggunakan mobil pick up jenis L-300, ditemani dua orang anak buah, dia berangkat dari Gunung Sitoli. Rutenya, dari kota asalnya menyeberang dengan kapal penyeberangan (ferry) ke Singkil, Aceh. Dari situ perjalanan diteruskan ke Medan melalui Kota Sidikalang (Kabupaten Dairi), Kabanjahe dan Berastagi (Kabupaten Karo).
"Tiba pagi hari di Singkil, lalu menuju Sidikalang untuk mengantarkan pisang yang saya bawa dari Gunung Sitoli ke langganan. Kemudian belanja sayur dan buah di Medan, besok paginya balik ke Gunung Sitoli dari Singkil lagi," tutur Halawa sembari menikmati menu makan siang di salah satu warung makan di Sidikalang.
Karena alasan tertentu, biasanya satu kali dalam seminggu dia menempuh rute lain untuk balik dari Medan ke Gunung Sitoli. Rute dimaksud, dari Kabanjahe ke Simpang Tiga di Sidikalang, Dolok Sanggul (Humbang Hasundutan) dan seterusnya ke Pelabuhan Sibolga. Dari situ lalu naik ferry ke Gunung Sitoli.
Di rute alternatif inilah, terangnya, pemerasan oleh oknum polisi kerap dialaminya. Pemerasan berlangsung siang hari. Pelakunya berpakaian dinas kepolisian, 4-5 orang. Karena membawa muatan hingga seberat tiga ton dan menjulang ke atas, ini yang dijadikan alasan untuk memerasnya.
Persisnya di Desa Pollung hingga Dolok Margo yang tidak jauh dari kantor Bupati Humbahas. Oleh polisi (salah satunya berpangkat brigadir berinisial T), muatannya yang tersusun tinggi dinyatakan sebagai pelanggaran. Tanpa tedeng aling-aling mereka memberikan pilihan, bayar duit di tempat atau ditilang. Besar uang yang diminta Rp 250.000.
"Setiap kali lewat dari situ saya dua kali mengalami pemerasan. Satu kali di Pollung, satu lagi di Dolok Margo. Polisi yang di Pollung menelepon kawannya di Dolok Margo mencegat, jadi dua kali saya diminta uang. Masing-masing Rp 250.000," ujar Halawa.
Soal tindak pemerasan itu ternyata bukan hanya dia yang mengalami. Tetapi semua mobil yang melintas di Pollung. Termasuk mobil pribadi, tak cuma kendaraan niaga.
"Saya pernah mengalami hal serupa karena tak pakai mobil plat merah. Kampung saya kan di dekat Pollung, seumur-umur tidak pernah melihat ada pemerasan oleh polisi, baru kali itu," papar kerabatnya yang anggota DPRD.
Agar tak tekor Rp 500.000 setiap kali hendak menempuh rute Sibolga, Halawa terpaksa menempuh jalur lain dari Saribu Dolok ke Parapat dan selanjutnya menuju Sibolga. Dari rute ini dia cuma bayar Rp 50.000, juga untuk membayar polisi.
Setahun lebih dia menghindar dari rute Dolok Sanggul. Tak sudi kehilangan duit Rp 500.000 akibat diperas. Untungnya, pekan lalu ketika kembali "nekat" melintas dari jalur serupa pemerasan oleh oknum polisi yang wajahnya sudah cukup dikenalinya itu, tak terjadi.
"Nggak tahu ya apakah karena masih dalam suasana Natal dan Tahun Baru mereka tak ada lagi," paparnya.
Si anggota dewan kerabatnya berpendapat lain. Katanya, polisi-polisi itu "tobat" dari kelakuan jahatnya akibat adanya pemberitaan gencar oleh salah satu radio yang mengudara dari Kota Pematang Siantar.
"Pernah seorang pengendara mobil diwawancarai dari lapangan pada saat pemerasan terjadi padanya. Diminta agar polisi tersebut difoto untuk disebarluaskan. Mungkin karena itu mereka berhenti memeras," tuturnya.