Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Oleh: Gunawan Benjamin*
Belakangan ini, penulis kerap mendapatkan pertanyaan seputar hutang negara. Baik itu dari kalangan mahasiswa, ataupun masyarakat sekitar yang hanya sekadar bertanya singkat terkait dengan hutang negara tersebut. Setelah saya cek, ternyata memang isu mengenai hutang ini tengah viral di masyarakat seiring dengan pernyataan salah satu kandidat presiden yang membagi hutang negara dengan jumlah penduduk, atau disebut dengan istilah hutang per kapita.
Menurut salah satu Capres, setiap warga negara menanggung hutang sebesar Rp 9 juta. Sebelum saya disodori statemen tersebut, saya juga sempat mendapatkan kiriman lewat grup WA terkait dengan isi ceramah salah satu ustaz yang membandingkan fasilitas yang didapatkan setiap bayi lahir dari masing-masing negara dengan apa yang didapat di Indonesia.
Dalam video ceramah tersebut, setiap bayi yang lahir di negara lain itu mendapatkan fasilitas, baik itu berupa subsidi dalam bentuk uang, beasiswa maupun fasilitas lainnya. Namun pada saat membicarakan mengenai bayi lahir di Indonesia, justru dikatakan bayi yang lahir di Indonesia tersebut langsung mendapatkan hutang yang angkanya Rp 13 juta.
Dari sudut pandang seorang ekonom, jelas membandingkan fasilitas dengan hutang itu berbeda. Artinya jika mau membandingkan, maka sama-sama dengan fasilitas yang didapatkan, atau hutang yang ada di negara tersebut. Misal membandingkan bayi lahir di Indonesia yang mendapatkan biaya persalinan gratis dengan fasilitas yang didapatkan dengan negara lain.
Atau membandingkan hutang negara masing-masing dengan negara Indonesia. Jika dalam isi ceramah disebutkan bahwa bayi yang lahir di Indonesia menanggung hutang sebesar Rp 13 juta, maka jika membandingkan Qatar, maka hutang negara Qatar itu sekitar 54% dari PDB-nya. Hutangnya sekitar US$ 90.000 juta, penduduknya sekitar 2,6 juta. Jadi hutang per kepala masyarakat Qatar itu sekitar 480 juta dengan rate Rp 14.000 per US$.
Selanjutnya Swedia, di mana total hutangnya sekitar US$ 211 miliar lebih, dengan penduduk sekitar 10 juta lebih. Maka hutang masing-masing warga negaranya itu sekitar Rp 300 jutaan dengan rate Rp 14.000 per US$. Jadi jika membandingkan antara Qatar, Swedia, Saudi Arabia, Brunei dan Indonesia, maka terlihat dengan jelas bahwa hutang sebesar Rp 13 juta seperti yang diklaim dalam isi ceramah tersebut angkanya masih kalah jauh dibandingkan dengan negara lainnya.
Bahkan jika dibandingkan dengan Brunei Darussalam, yang hutang negaranya sekitar US$ 340 juta, rasio hutang terhadap PDB-nya hanya 3%. Penduduknya sekitar 430.000, dengan rate Rp 14.000 per US$. Maka setiap masyarakat Brunei itu berhutang sekitar Rp 11 juta.
Jadi memang apa yang dibandingkan dalam isi ceramah tersebut tidak proporsional. Tidak pas memang, harus sepadan dalam menarik data atau fakta untuk dibandingkan. Bahkan di antara negara ASEAN, rasio hutang Indonesia itu paling kecil setelah Brunei Darussalam.
Nah, selanjutnya apakah dalam istilah ekonomi makro memang ada hutang per kapita tersebut?. Saya belum pernah mendapatkan istilah tersebut selama belajar ilmu ekonomi. Namun membagi hutang negara ke masing-masing masyarakat atau hutang per kapita itu sih boleh boleh saja. Tetapi pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah apakah memang hutang tersebut dibebani ke setiap masyarakat Indonesia?.
Sebenarnya isu hutang per kapita ini juga sempat muncul di masa krisis tahun 1998 silam. Di saat itu penulis masih sangat awam sekali, dengan usia yang masih belia atau belasan tahun saja. Awalnya memang sempat takut dengan hutang yang dibebankan saat itu. Kalau seingat penulis ada wacana bahwa setiap masyarakat menanggung hutang sekitar Rp 6 jutaan kala itu.
Tetapi ternyata penulis juga tidak mendapatkan tagihan hutang sebesar itu. Artinya, hutang per kepala atau per kapita tadi tidak ditagihkan ke masing-masing masyarakat. Masyarakat tidak punya kewajiban membayar hutang sebesar itu, dan masyarakat tidak mengelola hutang tersebut. Lantas muncul pertanyaan, layakkah hutang per kapita itu untuk kita kuatirkan?.
Saya pikir terlalu berlebihan memang, dan sangat bermuatan politis. Mengingat pernyataan mengenai hutang tersebut dilontarkan oleh salah seorang calon presiden dan menjelang masa pemilihan. Jadi saya pikir ini lebih bersifat politis, karena tidak substansial. Tetapi memang ada baiknya kita membahas detail berapa sih hutang negara ini, dan pantaskah kita kuatir?.
Merunut kepada sejumlah sumber media cetak maupun elektronik serta sejumlah pejabat pemerintahan, hutang luar negeri Indonesia itu sekitar Rp 5.000 trilyunan. Namun, penulis memiliki pengalaman tersendiri mengenai hutang tersebut. Ada salah satu mahasiswi penulis yang bertanya kala itu terkait dengan hutang.
Logika dasarnya seperti ini. Jika setiap bank sentral di masing-masing negara memiliki kewenangan sendiri dalam mencetak uangnya. Dan jika pemerintahnya berhutang kepada masyarakatnya sendiri. Maka pertanyaannya adalah, perlukah kita khawatir dengan hutang pemerintah yang didapat dengan berhutang kepada rakyatnya sendiri dalam mata uang rupiah?.
Gampangnya gini, jika rupiah bisa dicetak oleh bank sentral Indonesia, perlukah kita kkhawatir dengan hutang pemerintah? Atau mungkin pertanyaan lainnya begini, apakah mungkin pemerintah ga akan sanggup bayar hutang ke rakyatnya sendiri?.
Kita asumsikan jawabannya “tidak perlu kita kkhawatirkan”. Maka selanjutnya adalah, perlukah kita kkhawatir dengan hutang luar negeri kita? Nah di sini saya kasih jawaban memang sangat perlu.
Mengapa perlu?, karena hutang dalam mata uang asing katakanlah US$, itu uangnya kita pinjam dari negara lain. Bank sentral kita tidak memiliki otoritas mencetak mata uang asing. Hanya rupiah yang bisa dicetak oleh Bank Indonesia. Gampangnya gini, orang asing yang minjemin uang ke kita itu (misal US$) juga pingin dibayar dengan uang US$ juga.
Nah menurut data Bank Indonesia itu, hutang pemerintah dan bank sentral sebesar US$ 183.5 miliar, hutang BUMN dan swasta itu US$ 189.3 miliar. Jika ditotalin itu angkanya US$ 372.8 miliar. Kalau dikalikan Rp 14.000 per US$, maka hutang luar negeri kita itu sekitar Rp 5.200 trilyun. Itu hutang luar negeri kita kisarannya saat ini. Namun, jika dikalikan saat rupiah melemah di Rp 15.300-an tahun kemarin, maka hutang kita itu sekitar Rp 5.700 triliun.
Artinya hutang luar negeri kita saat ini menurun dong dibandingkan kondisi terburuknya di tahun 2018 silam. Tetapi pertanyaan selanjutnya, perlu ga hutang luar negeri dikonversi ke rupiah? Toh orang asing yang minjemin ke kita nagihnya pake dolar, egga pake Rupiah. Artinya itu yang ditagih US$ 372.8 miliar, bukan nagih Rp 5.200 triilunnya. Saya pastikan asing pasti maunya dalam mata uang mereka, yakni Dolar.
Jadi hutang luar negeri itu bisa membengkak, mengempis karena mata uangnya. Bukan hanya mengacu kepada besaran rill hutangnya. Nah selanjutnya muncul lagi pertanyaan. Itu hutang BUMN dan swasta kok bisa-bisanya dihitung sebagai hutang negara?. Apalagi kalau hutang negara dibagi-bagi ke masyarakatnya sendiri atau hutang per kapita. Ga adil banget kan? Nah, sekali lagi kita ga perlu kkawatir sama hutang negara yang dibagi-bagi ke masyarakat tersebut.
Namun, masalah hutang ini sebaiknya dijadikan kritik membangun bagi pemerintah. Kita harapkan pemerintah mampu mengelola hutang tersebut untuk hal yang produktif dan bermanfaat bagi rakyatnya. Jadi saran saya pikirkan hutang kita sendiri, khususnya hutang kita kepada jiran tetangga, sahabat, bank atau mungkin rentenir yang suka keliling dari rumah ke rumah. Karena hutang itu benar-benar ditagihkan ke kita.
Jadi kita harus bijak menyikapi perkembangan politik dengan segala macam isu yang ditebarkan saat ini. Menurut saya ini lumrah, terjadi di semua belahan dunia manapun yang negaranya demokratis. Yang penting kita bijak dalam menyikapinya. Cuman gorengan politik, nyantai saja.
*Pengamat ekonomi, bekerja sebagai dosen.