Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Kasus "pembredalan" Pers Mahasiswa (Persma) SUARA USU oleh Rektor Universitas Sumatera Utara (USU), Prof Runtung Sitepu, ditanggapi pakar komunikasi dari Universitas Gajah Mada (UGM), Ressi Dwiana.
Kepada medanbisnisdaily.com, Kamis (28/3/2019), alumni SUARA USU yang juga kandidat doktor Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia (UI) ini mengatakan, apa yang dilakukan oleh Rektor USU adalah double oppression, tekanan ganda.
Pertama, walau SUARA USU adalah UKM, tetapi SUARA USU adalah media yang mengemban kerja-kerja jurnalistik. Dalam tugasnya sebagai media, ada proses organisasi yang kompleks, pelatihan, penugasan, dan sebagainya. Ini semua adalah legitimasi kultural yang dilewati UKM-UKM lainnya juga.
"Keputusan rektor untuk memecat seluruh pengurus SUARA USU, berarti meniadakan seluruh proses dan legitimasi kultural tersebut. Kalau kelak keputusan itu tidak diterminasi, maka SUARA USU bukanlah SUARA USU, ia ada dan sah secara hukum, tapi tidak akan kita akui karena ia cacat kultural," ujarnya.
Ditambahkan Ressi, opresi lainnya adalah pada konten cerpen tentang diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Saya menekankan isu kelompok minoritas, alih-alih mempersempitnya hanya pada LGBT. Di seluruh dunia, di setiap tempat, kelompok minoritas berasal dari kalangan yang berbeda.
Pada kasus SUARA USU, LGBT. Pada kasus terorisme di New Zealand, masyarakat muslim. Lantas, bayangkan jika ada satu media di NZ yang menyuarakan penderitaan korban penembakan, lalu ada kelompok mayoritas pendukung white supremacy, membentangkan spanduk penghujatan terhadap korban, apa yang kita rasakan?
"Mungkin kita goyah ketika dibenturkan pada konteks sempit dari cerpen tersebut. Tetapi, mari berpikir dari sudut pandang diskriminasi terhadap minoritas. Maka kaca mata kita akan melihat lebih luas, tidak hanya pada nilai-nilai kelompok kita saja, tetapi pada nilai-nilai universal: kemanusiaan," tambahnya.
Dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), tambah Ressi, ada pasal pertama disebut bahwa manusia lahir merdeka dan setara. Oleh karenanya minoritas, di manapun dari kelompok manapun, harusnya dihargai, bukan dizalimi.
Selain itu, SUARA USU sebagai media, ruang publik demokratis, harus memberi tempat kepada semua. Termasuk suara minoritas. Bukan dalam rangka mempromosikan nilai apalagi menghasut. Namun sebagai bentuk nyata kerja media menyediakan ruang publik tersebut, sekaligus penghormatan terhadap hak asasi manusia.