Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com. Jauh sebelum dinasti Sisingamangaraja muncul di Tanah Batak, kurang lebih abad ke-17, masyarakat tradisi Batak sudah hidup dalam tatanan pemerintahan yang sifatnya konfederatif (perserikatan otonom) yang dikenal dengan istilah bius. Dalam arti sederhana, bius didefinisikan sebagai organisasi kelompok masyarakat yang terbentuk karena kesamaan tertentu, apakah berdasarkan induk marga atau wilayah. Lembaga inilah yang mengatur tata tertib interaksi sosial dan jalannya adat bagi anggotanya.
Bius yang biasa dipimpin raja bius (perwakilan-perwakilan marga/horja) yang bergabung di satu bius, menjadi forum musyawarah. Lembaga ini juga menjadi sumber rujukan atas berbagai masalah untuk mengambil keputusan bersama.
Sayangnya eksistensi bius, khususnya sejak misi Kristen di Tanah Batak sekitar abad ke-18, semakin hilang. Salah satunya karena tuduhan bahwa upacara-upacara yang mereka gelar bertentangan dengan agama.
Demikian salah satu poin yang mengemuka dalam Forum Diskusi Terbatas (Forditas), di Balai Arkeologi Sumatra Utara, Jalan Seroja Raya, Gg Arkeologi No 1, Tanjung Selamat, Medan, Jumat sore (29/3/2019). Diskusi ini mengambil tema "Raja Bius, Parbaringin dan Raja Imam Sisingamangaraja".
"Berdasarkan data yang sudah ada dalam catatan Residen VE Korn pada tahun 1938,
praktek bius itu sendiri sudah hampir tak dilakukan karena selalu dikaitkan dengan upacara yang bertentangan dengan agama-agama yang datang ke Tanah Batak," kata Thompson Hs, salah seorang pemantik diskusi.
Ditambahkannya, dalam berbagai catatan antropologi, pelarangan upacara bius sendiri dilakukan pemerintah kolonial pada tahun 1918.
Narasumber lain Ompu Sattirea Bakkara yang mewakili dari kelompok Parbaringin (pendeta upacara) masyarakat tradisi Batak, menekankan bahwa kelompok Parbaringin adalah kelompok masyarakat yang sangat dihormati dan menjunjung tinggi kesucian. Sayangnya, mereka juga ikut terimbas stigma negatif itu.
Diskusi ini merupakan yang ketiga kalinya digelar dan khusus membahas tema tentang Sisingamangaraja. Pada diskusi yang kedua 26 Februari 2019, di tempat yang sam,a tema diskusi mengenai keaslian marga Sisingamangaraja.