Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Kasus pembekuan Pers Mahasiswa (Persma) SUARA USU oleh Rektor USU Prof Runtung Sitepu, sekaitan pemuatan salah satu cerpen yang ditengarai bermuatan pornografi (LGBT), tidak sekadar soal pembungkaman kebebasan pers. Di balik itu ada pertanyaan besar, ada apa dengan internal USU, sehingga hanya karena sebuah cerpen langsung "kebakaran jenggot".
Demikian dikatakan Lely Zailani, salah seorang aktivis perempuan dari lembaga Hapsari saat diskusi "Ketika Cerpen Bikin Gentar", di Litercay Coffee, Jalan Jati II, No 1, Teladan Timur, Kota Medan, Rabu malam (3/4/2019).
"Saya heran, mengapa hanya karena sebuah cerpen dari seorang penulis yang sedang belajar sampai 'memporak-porandakan' USU. Ada apa dengan USU?" tanyanya.
Ditambahkannya, ada beberapa poin yang menarik dari polemik ini. Pertama, ia membuka ruang 'sesuatu' yang terjadi di internal USU. Kedua, adanya upaya pembungkaman suara kritis mahasiswa dan pers. Ketiga, harusnya menjadi momentum pembelajaran untuk mendengar suara kelompok masyarakat yang terpinggirkan demokrasi.
Tanggapan lain disampaikan sastrawan dan juga jurnalis senior di Kota Medan, Idris Pasaribu, yang hadir sebagai peserta. Menurut Idris, cerpen "Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya" karya Yael Stefany Sinaga itu adalah cerpen yang buruk. Karenanya penulisnya harus dibina bukan dibinasakan.
"Kalau mau diadili, karya sastra yang fiksi harus dibawa ke pengadilan fiktif, hakimnya juga fiktif," kata Idris.