Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Oleh: Gunawan Benjamin*
Dahulu saat penulis menawarkan SUKUK (obligasi syariah), ada calon pembeli yang saat itu ditawarkan menyatakan 'ibaratnya sama dengan daging babi yang dilabelin halal'. Karena pembeli tersebut menilai besaran imbal hasil dari SUKUK yang memiliki akad ijarah ini mirip dengan obligasi konvensional (ORI).
Kala itu SUKUK yang ditawarkan memiliki imbal hasil 12,75% per tahun. Calon pembeli tersebut berpendapat apa bedanya dengan ORI yang juga memakai presentasi bunga tetap setiap tahunnya hingga jatuh tempo. Meskipun penulis saat itu sudah menjelaskan detail produknya sudah sesuai dengan prinsip syariah. Salah satunya terkait dengan akad transaksinya, yakni Al Ijarah.
Tidak berhenti di situ, perdebatan juga muncul manakala penulis juga mengambil uang lewat ATM Bank Syariah. Kerabat penulis kala itu menuturkan 'mengapa pakai Bank Syariah?', toh pada dasarnya sama aja dengan bank konvensional yang menerapkan riba. Sepanjang perjalanan hidup ini penulis menyimpulkan banyak hal mengenai kesulitan banyak orang membedakan antara bank syariah dengan konvensional.
Seperti bank syariah masih tetap menggunakan presentase, imbal hasilnya mengacu kepada suku bunga. Minjam di bank syariah itu mahal dan ribet, masih mengenakan denda, modal bank dari bank konvensional, dan masih banyak lagi tudingan lainnya.
Kalau perbedaan secara fisik bank sih gampang. Artinya hanya dengan melihat ada tulisan Syariah di belakang bank, maka sudah bisa dipastikan bank tersebut syariah. Atau melihat lambang tertentu yang menunjukan ciri khas bank syariah.
Tetapi pemahaman masyarakat yang hanya melihat produk dari bank syariah dan membandingkan dengan produk bank konvensional, nah di sini nih banyak yang terjebak gagal memahami bank syariah.
Namun, dalam konteks ini penulis hanya membatasi untuk membahas suku bunga acuan yang kerap digunakan bank syariah. Karena dalam konteks ini, terlebih dalam konteks transaksi dengan menggunakan akad murabahah (jual beli), kerap nasabah membandingkan harga jual yang diberikan bank syariah dengan pinjaman konvensional berbasis bunga.
Namun sebelum ke sana, penulis mencoba untuk menggambarkan sebuah ilustrasi terlebih dahulu. Hidup dua orang sahabat baik, yakni Aman dan Amir yang memiliki keyakinan berbeda. Aman adalah pengusaha kuliner sukses yang menjajakan kuliner olahan daging babi. Sementara Amir adalah calon pengusaha kuliner baru yang nantinya membuka usaha kuliner olahan daging ayam. Mereka berdua tinggal di satu kompleks perumahan yang sama.
Sebelum membuka usahanya, Amir mencoba untuk mempelajari bisnis sih Aman. Dia melihat bagaimana proses bisnis yang dilakukan oleh si Aman hingga penentuan harga makanan yang dijual. Amir mempelajari bagaimana proses pembentukan harga serta menentukan daya beli masyarakat di sekitar kompleks tersebut.
Amir menanyakan berapa sewa tempat usahanya, biaya pembelian alat pendukung usaha, listrik, gas, serta perilaku dari pelanggan si Aman.
Aman pun menjelaskan semuanya, dan memberikan saran ke Amir untuk tidak menjual barang dagangannya melebihi batas harga Rp 30.000 per porsinya. Karena daya beli masyarakat di sekitar kompleks ini maksimal masih di kisaran Rp 30.000 per orang dalam setiap satu porsi makanan yang disantapnya.
Di sisi lain, Aman pun menjelaskan bahwa masyarakat di sekitar kompleks ini memiliki ragam selera rasa. Di mana favorit makanan masyarakat di sini adalah babi Panggang Kecap, Sop gaging babi, dan semur babi. Berdasarkan informasi tersebut, Amir pun membuat perhitungan bisnisnya sendiri.
Amir menghitung biaya sewa tempat usahanya, biaya modal, peralatan, dan menentukan besaran ukuran daging ayam yang akan dijualnya mengikuti anjuran si Aman, di mana porsi santapan per orang itu maksimal Rp 30.000. Dan mengacu kepada menu yang dijual oleh Aman, Amir pun meracik menu yang tidak jauh berbeda, yakni ayam panggang kecap, sop daging ayam serta semur ayam.
Amir akhirnya berhasil menjiplak model bisnisnya si Aman. Meskipun dengan barang dagangan yang tidak sama (halal). Tetapi proses penentuan harga Amir mengacu kepada pembentukan harga si Aman. Dan di sisi lainnya, menu produknya si Amir sangat mirip sekali dengan si Aman. Pertanyaannya, adakah dalil yang mengharamkan bisnisnya si Amir, jika modelnya seperti itu?.
Karena menurut penulis, kita tidak perlu ragu dengan kehalalan barang dagangan si Amir. Nah, ilustrasi di atas tersebut hanya untuk memunculkan logika yang benar dalam memahami masalah mengapa bank syariah itu kerap mengacu kepada besaran suku bunga (riba), terlebih suku bunga bank pesaing.
Dalam konteks Aman dan Amir tadi, di mana Amir ini jelas kelihatan akan mengambil sebagian pangsa pasarnya (pembeli/langganan) si Aman. Terlepas dari latar belakang pembelinya, entah itu agamanya, suku, profesi, atau bahkan pendidikan yang semuanya itu tidak begitu penting buat si Amir. Karena yang paling utama buat si Amir adalah bisnis ini dijalankan sesuai dengan keyakinannya (halal), dan bisnis ini harus menguntungkan.
Nah saat bankir dyariah itu menentukan harga produknya. mereka juga akan melihat berapa besaran bunga produk dari bank pesaing (ICMR/Indirect Competitor Market Rate), berapa marjin bank pesaing (DCMR/Direct Competitor Market Rate), berapa gaji karyawan, berapa biaya operasional kantor, biaya pemasaran/iklan, hingga berapa sih ekspektasi keuntungan atau kemampuan cicilan nasabah terkait dengan produk yang dijual.
Masyarakat harus menilai bahwa bank syariah ini merupakan entitas bisnis. Bukan hanya terfokus kepada urusan ibadah semata. Kalau bank dyariah beroperasi hanya diperuntukan untuk Ibadah semata, tanpa ada tujuan untuk mendapatkan keuntungan (profit), maka pertanyaannya, siapa yang akan menjamin bahwa bank syariah ini akan terus ada dan tetap hidup?
Bank syariah ini juga bersaing dengan bank Lain, termasuk bank syariah lainnya. Pada saat bank syariah menentukan harga sebelum akad, ini merupakan suatu hal yang lumrah terjadi. Diharapkan agar masyarakat untuk lebih banyak melihat fatwa dari DSN-MUI terkait dengan produk-produk keuangan syariah tersebut.
Saya tidak melampirkannya di sini, bisa dicari sendiri, karena memang tidak sulit. Saya berkesimpulan mereka yang sebelumnya memberikan penilaian terkait dengan ketidaksyariahan bank syariah karena mengacu kepada suku bunga, tidak harus dijustifikasi sebagai pendapat yang sesat. Karena mungkin mereka belum sepenuhnya mengacu kepada kaedah fiqih yang ditetapkan oleh ulil amri kita di sini.
Jadi yang perlu kita lakukan adalah meyakinkan mereka. Karena memang untuk urusan muamalah (bisnis) seperti ini, kita bukan hanya membutuhkan landasan hukum dari Alquran maupun hadits, tetapi kita juga membutuhkan kekuatan hukum, seperti ijma’ ulama yang memiliki ketetapan hukum atau fatwa seperti yang sudah berlangsung selama ini.
*Pengamat ekonomi, mahasiswa S3 UIN Sumatra Utara.