Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah mengumumkan hasil Pemilu Serentak 2019, Selasa (21/5/2019) dinihari tadi atau lebih cepat sehari dari jadwal maksimal 22 Mei. Paslon 01, Jokowi-Ma'ruf tampil sebagai pemenang dengan 85.607.362 suara atau 55,5%, sedangkan Prabowo Subianto-Sandiaga nomor urut 02 sebanyak 68.650.239 atau 44,5%
Sedangkan hasil Pileg menempatkan PDIP sebagai pemenang dengan 27.053.961 suara (19,33%), disusul Gerindra: 17.594.839 (12,57%), Golkar 17.229.789 (12,31%), PKB 13.570.097 (9,69%), NasDem 12.661.792 (9,05%).
Ketua Badan Pemenangan Provinsi (BPP) Prabowo-Sandi Sumut, Gus Irawan Pasaribu menyebut dirinya telah berkomunikasi dengan BPN (Badan Pemenangan Nasional) menyikapi hasil yang disampaikan KPU RI.
Di mana, telah disepakati untuk menutup semua langkah atau upaya hukum terkait gugatan hasil Pilpres 2019. Kata dia, ini berkaitan dengan kecurangan dan keberpihakan yang dilakukan secara massif.
"Lalu di mana optimisme kita jika ingin menggugat hasil Pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK)," kata Gus Irawan Pasaribu, di Sekretariat BPP Sumut, Jalan Setiabudi, Medan, Selasa (21/5/2019).
Gus Irawan yang didampingi Kamsir Aritonang, bendahara DPD Gerindra Sumut menyebut pihaknya sudah merasa dicurangi sejak awal. Selain itu ia juga mempertanyakan pengumuman hasil Pilpres dilakukan pukul 02.00 WIB dinihari.
"Bagaimana mungkin nalar sehat kita bisa menerima hasil Pilpres diumumkan pukul02.00 dinihari tadi. Wah, coba bagaimana aturan dan tanggung jawab para penyelenggara negara terhadap amanah rakyat," jelasnya.
Mantan Dirut PT Bank Sumut ini menyebut sudah bisa menebak hasil jika gugatan hasil Pilpres disampaikan ke Mahkamah Konstitusi (MK)
"Sekarang saja banyak pengaduan kita ke Bawaslu tapi tidak ditindaklanjuti. Atau diputus tidak terbukti. Padahal kita sertakan bukti-bukti valid. Maka wajar kalau kami simpulkan pemilu ini adalah yang paling brutal sepanjang sejarah bangsa Indonesia," jelasnya.
Menurut dia, perjuangan terhadap hasil Pilpres ini tidak akan berada di kooridor hukum. "Kalau dilihat semangat masyarakat, sepertinya perjuangan akan berlanjut di jalanan. Langkah menggugat ke MK hanya akan menghabiskan energi lalu hasilnya pun sudah bisa ditebak," ungkapnya.
Gus mengatakan, saat ini akumulasi massa yang bertolak ke Jakarta untuk ikut dalam aksi 22 Mei tak terbendung. "Masyarakat merasa jadi korban kecurangan. Suara yang mereka berikan saat Pemilu tidak dijaga. Padahal itu amanah," ungkapnya.
Menurutnya, pintu perlawanan di muka bumi ini sudah tertutup karena sikap aparat penegak hukum. "Itu sebabnya pun kemarin kita gelar doa dan buka bersama dengan 1.000 anak yatim di Medan. Karena itu setidaknya menjadi jalan membuka pintu langit," tambahnya.
"Harapan kita saat ini hanya pada Yang Maha Kuasa. Doa dari masyarakat, alim ulama, anak yatim, kaum duafa setidaknya menjadi bagian dari perjuangan," imbuhnya.
Selain itu Gus Irawan juga menganalisis jalannya pemerintahan lima tahun ke depan akan sangat sulit ketika melihat potensi konflik serta penolakan masyarakat terutama para ulama terhadap pemerintahan sekarang.
Menurutnya, pemerintah akan sulit mengakomodasi para ulama dan tokoh masyarakat karena refresifnya aparat.
"Sikit-sikit ditangkap, dilaporkan. Itu sebenarnya membesarkan polemik di pemerintahan. Siapa yang bersuara kritis ditangkap. Kemudian diproses hukum. Ulama juga diperlakukan seperti itu dan sampai sekarang tidak ada itikad pemerintah untuk menghentikan langkah tersebut. Jadi wajar semakin banyak yang berseberangan," jelasnya.
Lima tahun ke depan, menurutnya, akan penuh pertentangan. "Bagaimana pemerintah sekarang mau merangkul barisan ulama dan tokoh masyarakat yang berseberangan. Yang saya lihat potensi konfliknya malah dibuat semakin tinggi dengan langkah refresif dan pengekangan kebebasan berpendapat," tuturnya.