Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Oleh: Gunawan Benjamin*
Sikap fanatisme masyarakat ke salah seorang tokoh, atau pemuka agama, ustaz atau ulama itu memang kerap dijadikan landasan hukum bagi dirinya untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Tidak sedikit orang yang hanya mengacu kepada isi ceramah dari ustaz tersebut untuk dijadikan pembenaran dalam aktifitas apapun bagi dirinya. Padahal, bisa saja seorang ustaz berpendapat lain.
Bahkan seorang imam sekalipun bisa berpendapat berbeda. Katakanlah Imam Syafi’i maupun Imam Maliki yang memiliki pandangan berbeda dalam penggunaan qunut saat salat subuh.
Imam Syafi’I sebagaimana kita pada umumnya di sini yang menggunakan qunut, sementara Imam Maliki justru tidak memakai qunut. Tetapi saat Imam Syafi’I menjadi imam szlat subuh dan Imam Maliki menjadi ma’mum, beliau tidak memakai qunut. Hal sebaliknya juga ditunjukan oleh Imam Maliki saat jadi imam salat subuh, yang memakai qunut karena ma’mumnya adalah Imam Syafi’i.
Seperti itulah perbedaan pendapat antara kedua Imam Madzhab, namun perbedaan tersebut justru bukan membuat perselisihan di antara keduanya. Yang ada justru sikap saling menghargai di antara mereka berdua.
Namun, penulis masih sering menemukan adanya fanatisme buta di tengah masyarakat, di mana seseorang tersebut bahkan berani mengkafirkan umat lainnya karena perbedaan pandangan yang diakibatkan oleh perbedaan pendapat di antara ustaznya.
Yang lebih parahnya lagi dan bahkan menyesatkan, ada sebagian masyarakat yang mengkafirkan masyarakat lain karena perbedaan pandangan politik. Seperti Pilpres kemarin, di mana ada sekelompok orang yang mengatakan bahwa mereka lebih syariah karena pilihan capres mereka, dan orang yang punya pilihan selain mereka adalah orang kafir, laknattulloh dan banyak kata-kata yang sepantasnya tidak diucapkan.
Fanatisme buta ini membuat logika kita menjadi tumpul. Bayangkan, di saat musim kampanye kemarin, ada sebagian umat yang mengharamkan ucapan selamat Natal. Dan menilai mereka yang mengucapkan berada di jalan yang sesat. Tetapi sikap mereka sendiri justru tidak berlaku kepada idola capresnya sendiri, yang justru mengucapkan selamat Natal kepada saudara kita yang Kristiani.
Jadi perdebatan itu dicuatkan cenderung untuk memperkuat sikap dukungan politisnya ke salah satu capres, bukan berbicara suatu hal yang mendasar atau fundamental. Seperti ada tidak dalil yang mengharamkan kita mengucapkan selamat Natal? Padahal, tidak ada ayat Alquran dan Hadits Nabi yang mengharamkan ataupun menghalalkan mengucapkan selamat Natal tersebut. Sehingga terjadi perbedaan pendapat di antara masing-masing ulama, yang seharusnya dihargai perbedaan tersebut.
Banyak lagi hal lain yang terjadi di tengah masyarakat. Bukan hanya berbicara mengenai ibadah, sosial semata seperti perbedaan tata cara salat, mengucapkan selamat Natal, menjenguk saudara kita yang berbeda agama, perbedaan dalam doa buka puasa, perbedaan pendapat dalam hukum nikah, dan seterusnya. Hingga masalah muamalah juga banyak diperdebatkan, seperti hukum bertransaksi secara online, membeli saham, bertransaksi obligasi, haram halal transaksi menggunakan Go Pay, masalah kesyariahan bank dyariah dan banyak lagi, bahkan ke urusan politik juga.
Di zaman sekarang ini, seorang ustaz yang memberikan tausiyah umumnya memiliki komunikasi 2 arah dengan ummatnya. Artinya, jemaah diberikan kesempatan untuk melakukan tanya jawab langsung ke sang ustaz. Dan dari banyak ceramah yang penulis dapati, tidak sedikit jemaah bertanya mengenai hal-hal yang berhubungan dengan muamalah.
Seperti ada pertanyaan dari salah seorang jamaah ke salah satu ustaz terkenal tentang bagaimana hukumnya membeli saham. Sang ustaz saat itu memberi jawaban seperti ini “selama tidak mengandung unsur riba, maishir, gharar berarti halal, silahkan saja”. Jawaban yang diberikan ustaz tersebut benar adanya. Tetapi itu kan masih berbicara tatanan teoritis. Belum bicara teknis ataupun tatanan praktis.
Nah, di lapangan penulis pernah menemukan seorang investor yang sangat rajin mendengar tausiyah dari banyak ustaz tetapi masih kesulitan membedakan mana transaksi yang gharar, riba atau maishir tadi. Faktanya, investor yang penulis maksud tersebut bertransaksi jual beli indeks saham, forex (futures), yang jelas-jelas tidak ada serah terima barang di situ (gharar).
Contoh kasus lainnya, banyak juga masyarakat yang menilai bahwa transaksi futures dengan membeli indeks saham itu adalah membeli saham. Artinya apa, bisa saja yang dimaksudkan oleh si penanya tadi “membeli saham” itu bisa jadi memiliki maksud sebenarnya bahwa “membeli indeks saham di perusahaan futures”. Yang seharusnya hal-hal seperti ini ditanyakan ke yang ahli.
Lain hal, penulis juga menemukan adanya pernyataan salah satu ustaz ternama juga menganjurkan sebaiknya uang disimpan dengan dibelikan emas, karena harga emas yang stabil. Pernyataan tersebut seharusnya diikuti dengan pertanyaan kritis lainnya dan mendalami maksud dan tujuan ustaz tersebut. Karena pernyataan stabil tadi bisa saja memiliki makna lain, atau memang ustaznya sendiri yang tidak menguasai permasalahan.
Karena fakta di lapangan harga emas itu bergerak naik turun atau berfluktuasi. Emas pernah mendekati harga $2.000 per once troy dan saat ini diperjualbelikan di kisaran $1.300 saja. Jadi statemen “harga emas stabil” tadi membutuhkan klarifikasi lanjutan dari ustaz tersebut. Dan menurut saya hal-hal seperti ini seharusnya tidak ditanyakan kepada ustaz, atau bagi ustaz yang tidak memahami sepenuhnya permasalahan tersebut bisa mengarahkan untuk berkonsultasi dengan yang lebih memahami.
Pengalaman lainnya yang muncul di antaranya, yaitu, perbedaan pendapat mengenai boleh atau tidaknya transaksi jual beli secara online. Termasuk bisnis transaksi online, ataupun bisnis lainnya yang sangat dibantu dengan adanya perkembangan teknologi. Ada beberapa masyarakat yang mengharamkan transaksi online tersebut.
Di mana sebagian masyarakat menyatakan bahwa kalau membeli suatu barang maka ijab qabulnya harus diucapkan dengan lugas, termasuk maksud dan tujuannya. Nah pendapat seperti itu, berarti memang sesuai dengan anjuran Imam Syafi’I yang menekankan akad pada lafazh (ucapan) dan mabani (alur). Tetapi bagi mereka yang melakukan transaksi bisnis secara online, berarti sedang menganut mazhab Imam Hanafi dan Hanbali. Karena menurut beliau dalam transaksi yang ditekankan adalah ma’ani (makna) dan muqhasid (tujuan).
Namun, di Indonesia ini kan banyak yang menganut mazhab Syafi’i. Tetapi faktanya mereka yang setiap hari mempraktekan anjuran mazhab Syafi’I tersebut ternyata masih juga menggunakan mazhab lain khususnya di transaksi online tadi. Artinya apa? Kita diperbolehkan untuk pindah mazhab selama ada mazhab tertentu yang memberatkan atau yang memudahkan.
Jadi tidak sepenuhnya di kehidupan modern ini kita berpegang sepenuhnya pada satu mazhab tertentu saja. Sehingga kalau ada perbedaan pendapat di antara imam kita, maka sudah semestinya tidak mudah bagi kita untuk saling membid’ahkan atau mengkafirkan. Tetapi bagi kita yang memiliki pengetahuan minim tentang mazhab tersebut.
Maka sudah seharusnya kita mengkuiti wali Allah SWT di muka bumi ini, yakni Ulil Amri. Dalam konteks ini adalah ulama dewan yang direpresentasikan oleh Majelis Ulama Indonesia. Patuhi semua fatwa atau aturan yang dikeluarkan oleh DSN-MUI. Ini acuan kita sekaligus bentuk ketaatan kita kepada Allah SWT. Karena Alquran sendiri sudah menggariskan untuk mematuhi firmannya dalam Alquran, Hadits Nabi dan Ulil Amri.
Akan tetapi banyak masyarakat yang sudah menyerahkan semua urusan hidupnya mengacu kepada arahan dari ulamanya sendiri. Saya secara pribadi tidak menyalahkan. Namun dalam Ulil Amri itu terdapat banyak ahli, mulai dari urusan ibadah, akidah hingga muamalah. Mereka berkumpul, merumuskan serta membuat aturan hukum yang dijadikan landasan.
Jadi sudah pasti tentunya lebih kredibel. Bukan berarti ulama di luar MUI itu tidak kredibel. Namun di MUI itu terdapat banyak ahli, yang tentunya saat merumuskan aturan jauh lebih baik ketimbang anjuran yang diberikan oleh salah satu orang ustaz saja.
Kalau ada yang berpendapat bahwa Ulama Dewan tetap bisa salah, nah apalagi kalau ulama itu hanya seorang diri, dan sebuah keniscayaan memiliki pengetahuan di segala bidang seperti layaknya Ulama Dewan yang diisi oleh banyak ahli dari banyak disiplin ilmu.
*Gunawan Benjamin, Pengamat Ekonomi, Mahasiswa S3 Ekonomi Syariah UIN Sumatera Utara.