Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Oleh: Gunawan Benjamin*
Ada artikel menarik yang penulis temukan terkait dengan transaksi valuta asing atau forex (foreign exchange), di mana artikel tersebut mengkritisi fatwa MUI (No.28/DSN-MUI/III/2002), yang membolehkan transaksi SPOT. Namun, menurut hemat saya kritik yang dibangun tersebut masih mengacu kepada penelaahan dari sisi legalitas formal saja, tidak memahami bagaimana teknis transaksi di lapangan.
Namun sebelum jauh kita berbicara mengenai sejumlah produk keuangan syariah tersebut, saya akan menjabarkan beberapa jenis transaksi valas yang selama ini di bank. Ada transaksi TODAY atau disingkat dengan istilah TOD, di mana transaksi dan settlemennya dilakukan di hari yang bersamaan. Selanjutnya ada model transaksi TOM (Tomorrow), yakni transaksi yang dilakukan pada hari ini namun penyelesaiannya dilakukan keesokan harinya.
Selanjutnya ada transaksi SPOT, di mana transaksinya dilakukan pada hari ini, namun penyelesaiannya dilakukan di dua hari yang akan datang. Ada transaksi Forward, di mana transaksi yang penyelesaiannya di lakukan lebih dari 2 hari kerja. Ada Option, Swap dan beberapa produk lainnya yang Insyaallah akan dibahas dalam tulisan lainnya.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk memberikan masukan sekiranya mampu menambah pengetahuan bagi kita semua. Dalam kritikan yang penulis dapatkan, di mana kritikan tersebut menyatakan bahwa transaksi SPOT yang penyelesaiannya atau settlemennya dilakukan 2 hari kerja adalah haram.
Saya justru tidak sependapat dengan kritikan tersebut. Berdasarkan pengalaman penulis selama bekerja sebagai seorang dealer atau broker valas di beberapa bank nasional, praktek transaksi yang terjadi memang seharusnya bisa diakomodir sebagai landasan berpikir untuk menciptakan produk jual beli mata uang asing (sharf) secara syariah.
Namun, saya di sini akan lebih mengedepankan logika berpikir mengapa transaksi SPOT itu memang sepantasnya masuk dalam kategori transaksi yang syariah. Setidaknya ada 2 (dua) alasan utama yang seyogyanya bisa dijadikan landasannya.
Pertama, proses pengiriman uang antara negara itu sangat bervariasi. Rentang waktunya itu berkisar 2 sampai dengan 5 hari. Sebagai contoh: seorang eksportir yang menjual barang dagangannya ke AS, mendapatkan kabar bahwa uang yang menjadi hak eksportir tersebut telah dikirimkan ke rekening eksportir di bank dalam negeri.
Sederhananya begini, misalkan A menjual CPO ke X di AS. Si X membayar A dengan sejumlah uang AS dolar. X pada pukul 8 pagi waktu Indonesia mengirimkan bukti bahwa X sudah mengirimkan sejumlah uang ke rekening A di Indonesia. A yang kala itu menerima salinan transaksi, langsung melakukan transaksi SPOT untuk menjual AS dolar yang akan diterimanya guna keperluan perusahaan si A.
Nah, mengapa A melakukan transaksi SPOT, yang settlemennya dua hari kerja tersebut? Karena A sudah memperhitungkan bahwa di saat A menerima bukti transfer dari X, maka uang tersebut baru akan benar-benar ada di rekeningnya sekitar 2 hari yang akan datang. Jadi A pada dasarnya sudah mendapatkan uang yang menjadi haknya.
Hanya saja teknis pengiriman uang itu membutuhkan waktu, sehingga transaksi SPOT yang dimungkinkan untuk mampu mengakomodir kebutuhan A di tanah air. Pada umumnya, A yang menjual AS dolar yang dimilikinya tersebut juga sudah mendapatkan limit transaksi atau underlying transaction dari banknya itu sendiri. Umumnya divisi manajemen risiko bank (risk management) yang memberikan fasilitas transaksi tersebut.
Waktu proses pengiriman uang tersebut pada umumnya memang mencapai 2 hari. Untuk beberapa kasus lainnya, seperti pengiriman uang di sejumlah negara Eropa bisa memakan waktu hingga 5 hari. Untuk contoh kasus si A dan X tadi. Saat A menerima bukti pengiriman uang pukul 8 waktu Indonesia, sudah barang pasti perbankan di AS tengah tutup, karena waktu pagi di Indonesia sudah barang pasti waktu malam di AS.
Jadi aspeknya banyak yang harus dipahami, dan kita belum berbicara mengenai jadwal kliring masing-masing bank, belum lagi berbicara mengenai pengiriman uang antarnegara yang dilakukan di akhir bulan (tgl 30 atau 31), yang jelas-jelas akan memakan waktu lebih lama lagi. Jadi memang proses pengiriman uang ini seharusnya dipahami oleh pengkritik, sehingga bisa lebih tajam dalam memberikan kritikan.
Kedua, harga mata uang rupiah terhadap AS dolar (kurs) yang terpampang dilayar harga itu adalah harga untuk SPOT. Misalkan harga AS dolar-rupiah (USD/IDR) adalah 14.100. Harga di layar monitor tersebut adalah harga SPOT, ini berdasarkan pengalaman penulis selama ini. Justru di saat ada nasabah melakukan transaksi TOD atau TOM, harganya kerap dikurangi oleh dealer/broker.
Pengalaman penulis, jika harga SPOT 14.100, maka harga TOD atau TOM biasanya dikurangi 1 atau 2 rupiah, walaupun pernah juga diturunkan 0.25 atau 0,5 rupiah. Tetapi ini hanya masalah teknis saja. Tergantung dari kemampuan dealer atau broker tersebut dalam melakukan negosiasi kepada nasabahnya. Tidak jarang pula harga SPOT itu disamakan dengan harga TOD atau TOM. Ini hanya masalah negosiasi antara penjual dan pembeli saja.
Jika transaksi SPOT memicu terjadinya aksi spekulasi, maka aspek niat di sini menjadi penting dan hanya diketahui oleh Allah SWT dan pelakunya saja. Namun, untuk transaksi yang niatnya spekulasi, transaksi TODAY juga sangat memungkinkan seseorang tersebut melakukan aksi spekulasi. Bahkan untuk semua jenis transaksi valuta asing tidak terlepas dari spekulasi jika pelakunya memiliki niat yang tidak baik.
Jadi berbicara spekulasi, ini sebaiknya pelakunya yang harus dibekali dengan banyak pemahaman ilmu syariah. Dan MUI di sini sudah memberikan penjelasan bahwa transaksi jual beli mata uang asing ini diperbolehkan dengan beberapa ketentuan umum, dan yang utama adalah tidak untuk spekulasi atau untung-untungan.
Namun, pada prakteknya aksi seperti ini mendapatkan pengawasan dari otoritas kita. Sebagai contoh seorang eksportir akan melakukan transaksi jual valas, jika ditemukan transaksi beli valas oleh eksportir maka akan dengan sangat mudah terbaca oleh otoritas kita. Dan sanskinya jelas. Transaksi dua arah jual dan beli itu oleh satu orang pelaku akan membuat pelaku tersebut dikenai sanksi. Selama pelaku tidak bisa menjelaskan peruntukan transaksi, dan disimpulkan memang ada unsur spekulasinya.
Setidaknya itu dua alasan utama kritikan saya terhadap tulisan yang mengkritisi Fatwa MUI tersebut. Dalam fatwa MUI, setidaknya ada beberapa tahapan sebelum pengesahan proses tersebut. Dan proses pengambilan keputusan itu selalu menghadirkan banyak tenaga ahli, untuk jual beli mata uang ini tenaga ahlinya berasal dari Working Grup Perbankan Syariah, Ijtima’ Sanawi (Annual Meeting) DPS, hingga rapat pleno DSN.
Sehingga kredibilitas dari fatwa tersebut bisa dipertanggungjawabkan. Berbeda dengan kritikan atau opini pribadi seseorang dalam memberikan pendapat. Jika seseorang tersebut memang benar-benar menguasai banyak aspek ilmu pengetahuan -walaupun rasanya tidak mungkin-, maka kritikannya seharusnya komperhensif dan menjabarkan banyak aspek.
Saya secara pribadi lebih menghormati orang yang tidak memperselisihkan keputusan MUI, atau orang yang memiliki cara santun dalam menyampaikan kritikan. Tidak langsung memprovokasi jemaahnya untuk tidak mempercayai keputusan MUI. Bahkan saat ini MUI sendiri telah mengeluarkan fatwa yang memperbolehkan transaksi lindung nilai (hedging).
Dalam transaksi seperti ini, logika berpkirnya bahkan jauh lebih kompleks dibandingkan dengan hanya membahas transaksi SPOT tersebut. Insyaallah dalam tulisan lainnya nanti akan saya coba buat. Akan saya paparkan logika berpikirnya dengan cara yang sederhana. Fatwa MUI terkait dengan transaksi lindung nilai (No. 96/DSN-MUI/IV/2015) juga memperluas cakupan transaksi valuta asing.
Karena sebelumnya transaksi forward dibatasi hanya untuk kebutuhan transaksi yang sifatnya lil hajah, seperti yang tertuang dalam fatwa No. 28/DSN-MUI/III/2002.
*Gunawan Benjamin, Pengamat Ekonomi, Mahasiswa S3 Ekonomi Syariah UIN Sumatera Utara.