Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Washington DC. Keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump membatalkan serangan ke Iran di menit-menit akhir dinilai menunjukkan kebingungan orang nomor satu di AS itu soal perang. Trump dinilai ingin menjadi sosok yang gemar berperang, tapi di sisi lain dia ingin menghindari perang.
Seperti dilansir AFP, Sabtu (22/6/2019), kebingungan Trump semakin terlihat saat rencana serangan ke Iran --untuk membalas aksi Iran menembak jatuh drone AS-- pada Kamis (20/6) malam waktu AS atau Jumat (21/6) pagi waktu Iran, tiba-tiba dibatalkan. Trump mengakui dirinya membatalkan rencana serangan sekitar 10 menit sebelum dilancarkan.
Terungkapnya rencana serangan ke Iran yang kemudian dibatalkan, menurut pakar, merangkum paradoks yang ada di jantung kebijakan luar negeri Gedung Putih selama dua tahun terakhir.
"Dia (Trump-red) memiliki dua naluri. Satu adalah kewaspadaan, meyakini bahwa perang tak berkesudahan dan terus-menerus telah menghabiskan terlalu banyak biaya bagi Amerika Serikat," sebut Rob Malley, mantan penasihat Barack Obama, yang kini memimpin International Crisis Group.
"Naluri lainnya adalah ingin terlihat seperti seseorang yang kuat, yang tidak gampang ditekan," imbuhnya.
Selama ini, Trump dinilai menampilkan sosoknya bagaikan sheriff global yang congkak yang siap berduel dengan rival-rival AS, termasuk China. Dia terlihat 'bersenang-senang' dalam mendalami perannya sebagai 'commander-in-chief' atau panglima tertinggi AS. Trump selalu tampak senang saat membanggakan miliaran dolar AS yang dihabiskan untuk 'membangun kembali' militer AS atau saat bicara soal sistem persenjataan terbaru yang mematikan.
Namun pada Kamis (20/6) malam di Washington DC, saat pasukan militer AS ada di ambang untuk menggempur tiga target di wilayah Iran, AFP menyebut, Trump 'sang elang' tiba-tiba berubah menjadi Trump 'sang merpati'.
"Kami siap beraksi untuk membalas, semalam, terhadap tiga target berbeda ketika saya bertanya, berapa banyak yang akan tewas. 150 orang, Pak, adalah jawaban dari seorang Jenderal," ucap Trump dalam pernyataannya via Twitter, setelah berita soal pembatalan serangan ke Iran marak dibahas media-media AS.
"10 menit sebelum serangan, saya menghentikannya, tidak sepadan dengan menembak jatuh sebuah drone tanpa awak," terangnya.
Pernyataan Trump dinilai merangkum secara sempurna keraguan yang menyelimuti Gedung Putih, yang dijuluki sebagai 'kantor paling berpengaruh di dunia'.
Di satu sisi, sebut AFP, Trump membanggakan soal 'siap beraksi'. Dia menggunakan istilah 'cocked and loaded' untuk menyebut istilah militer yang biasanya disebut sebagai 'locked and loaded'. Diketahui bahwa pernyataan Trump via Twitter itu memakai tata bahasa yang tidak lazim juga memiliki salah ketik.
Di sisi lain, Trump mengambil keputusan cinta damai dengan membatalkan rencana serangan demi menghindari hilangnya nyawa 150 orang. Trump juga mengakui dirinya menyimpulkan bahwa serangan militer bukanlah respons yang 'sepadan' untuk aksi Iran menembak jatuh drone tanpa awak.
Terlepas apakah pembatalan ini adalah strategi atau disfungsi, akan selalu menjadi pertanyaan terbuka sejak Trump, yang tidak punya pengalaman di luar negeri selain bisnis-bisnisnya, menjadi Presiden AS.
Trump, di satu sisi, berkomitmen mengeluarkan AS dari perang-perang tak berkesudahan, salah satunya dengan menarik tentara-tentara AS dari zona konflik. Namun pada saat bersamaan, dia menunjuk John Bolton, pendukung invasi AS ke Irak yang radikal terhadap Iran, sebagai penasihat keamanan nasionalnya.
Lebih lanjut, Malley menyebut Trump sebenarnya punya strategi untuk Iran dan musuh AS lainnya, Korea Utara (Korut), yakni dengan menerapkan sanksi besar-besaran untuk menekan negara-negara itu, sebelum akhirnya menawarkan dialog terbuka.
Namun masalahnya, sebut Malley, ketika pendekatan semacam itu gagal, kedua pihak akan sama-sama tersudutkan. "Kemudian dia (Trump-red) mengalami dilema yang tidak dia sukai: berperang atau mundur?" cetus Malley.
Secara terpisah, Robert Guttman yang mengajar di Center for Advanced Governmental Studies pada Johns Hopkins University, menyebut bahwa kekurangan dalam cara berpikir Trump sebenarnya lebih sederhana dan lebih mendalam.
"Dia tidak tahu apa yang dilakukannya," sebut Guttman. "Dia omong besar, dia seorang bully, tapi dia tidak memiliki pengalaman apapun dalam kebijakan luar negeri. Dia berkata: 'Saya pria yang tangguh tapi jangan menguji saya'," imbuhnya.(dtc)